"Kehilangan cahaya", ungkapan yang sesuai dengan kondisiku saat ini. Saat panas radiasi matahari menembus lapisan epidermis kulitku, saat debu-debu berterbangan menyesakkan dada, dan saat tetesan air hujan membiaskan cahaya matahari,
aku hanya bisa merasakannya tanpa bisa melihatnya langsung. Semua itu
bermula setelah kejadian minggu lalu saat aku berjalan melewati gang
sempit menuju rumahku. Di pikiranku saat itu hanyalah tugas deskripsi
tentang Hukuim-Hukum Newton yang menumpuk, membayangkan
kesibukanku dengan lembaran-lembaran kertas yang memenuhi ruang kecilku.
Tanpa kusadari, sebuah motor melaju kencang di belakangku, menabrakku
dan membuatku roboh seketika.
Aku baru sadar setelah aku merasa tubuhku dibalut lilitan perban yang lengket di kulitku, saat cairan impus meresap dengan daya kapilaritas
tinggi ke dalam tubuhku, juga saat aroma karbol yang terasa menusuk ke
dalam hidung. Karena itulah aku tahu bahwa aku sedang berada di rumah
sakit. Tapi ada satu fakta yang benar-benar mengejutkanku, fakta bahwa
aku menjadi buta. Aku tidak bisa melihat gelombang cahaya lagi.
Kubayangkan ayahku yang bersusah payah untuk mengumpulkan uang dari
pekerjaannya sebagai kuli bangunan kini harus terbebani olehku yang
hanya gadis buta dan tak bisa berbuat apa-apa. Aku sempat menyerah
dengan kondisiku saat itu. Tapi syukurlah, seseorang telah
menyadarkanku, membawaku keluar dari semua keterpurukanku.
Samar-samar aku mendengar langkah kaki seseorang mendekatiku, menyapaku dengan suara yang dalam. "Selamat sore, Mira..."
Dari
suaranya dan caranya menyapaku, aku tahu bahwa dia bukan ayahku. Itu
pasti Dokter Kunio, tebakku. Dia adalah dokter spesialis mata dari
Jepang yang bekerja di rumah sakit tempatku dirawat. Dialah dokter yang
telah menyelamatkan nyawaku, hidupku, bahkan kepercayaan diriku setelah
aku menjadi buta. Bahkan, dialah yang membiayai seluruh pengobatanku.
Dia juga menjamin bahwa sebentar lagi aku akan mendapatkan donor mata
dan bisa melihat dunia kembali. Aku bersyukur sekali mengenal Dokter
Kunio. Meski aku tidak bisa melihat wajahnya, tapi dari sikap dan gaya tarik yang diberikannya aku tahu bahwa dia adalah dokter muda yang baik dan ramah.
"Bagaimana keadaanmu?" tanyanya dengan gelombang suara yang rendah. Aku merasa ia berada di sisi ranjangku saat ini.
"Syukurlah, baik," jawabku dengan daya yang lemah, kemudian balas bertanya, "Dokter sendiri? "
Terdengar ia menghembuskan napas dalam, kemudian ia mendesah. "Yah... seperti biasa, selalu sibuk berurusan dengan penyakit."
Aku tertawa kecil. "Namanya juga dokter, dimana-mana, ya... tetap saja harus berurusan dengan segala macam penyakit."
Aku mendengar ia juga tertawa kecil, kemudian berkata, "Kau benar, setiap dokter memang harus... uhuk..."
Aku mendengar ia terbatuk seperti biasa, "Dokter tidak apa-apa?" tanyaku cemas.
"Aku baik-baik saja," balasnya meyakinkan. "Aku hanya tersedak."
Aku
memangguk paham, meskipun masih kurang yakin. Dokter Kunio mengajakku
berbicara, bercerita seperti hari-hari sebelumnya. Ia memang tidak
pernah kehabisan bahan pembicaraan. Hal ini lah yang membuatku merasa
senang dan tidak bosan bersamanya. Sampai kemudian, ia berkata,
"Rencananya malam ini kau akan dioperasi, karena kita telah mendapatkan
donor mata."
Seakan menerima sebuah aksi yang besar, aku memberikan reaksi yang sama besar dengan aksi tersebut. Dengan susah payah aku menyembunyikan rona wajahku yang terlalu senang.
"Serius?" tanyaku memastikan lagi, meskipun aku tahu yang baru saja dikatakannya benar-benar serius.
"Tentu saja! Apa aku terdengar seperti sedang berbohong?" sahutnya.
Tanpa kusadari, adrenalinku bekerja sendiri sehingga tanpa sadar aku langsung memeluk Dokter Kunio.
"Terima kasih," ucapku lirih, tidak bisa menahan rasa haruku.
"Iya, sebaiknya kau mempersiapkan diri. Aku sudah mengabari ayahmu tentang rencana operasi malam ini."
Aku
tersenyum lega. Akhirnya setelah berhari-hari kehilangan cahaya, aku
akan mendapatkan cahaya baru. Dan yang terpenting, aku akan bisa melihat
Dokter Kunio, orang yang telah menyelamatkan hidupku.
Aku terus
menghitung detik-detik sebelum aku bisa membuka mataku. Terasa olehku
seseorang membuka perban yang semalaman telah membalut mataku. Rasanya
sudah tidak sabar melihat sekelilingku. Aku membuka mataku perlahan saat
aku sudah terbebas dari balutan perban. Yang pertama kali kulihat
adalah cahaya bersamaan dengan bayangan semu yang semakin lama
semakin jelas terlihat. Aku menatap sekelilingku. Di depanku berdiri
ayahku dan juga seorang perawat wanita. Perawat itu melambaikan lengan
di depan wajahku.
"Bisa kau lihat?" tanyanya.
Senyum di bibirku mengembang. Kupeluk ayahku yang berdiri di depanku dengan perasaan senang.
"Alhamdulillah..." ucap ayahku senang. Ia mengusap rambutku pelan.
Perawat yang ada di ruanganku itu memberikan sebuah cermin kepadaku. Aku melihat bayangan maya diriku
di dalam cermin. Aku melihat sendiri rambut hitam sebahuku masih kusut
dan pakaian hijau khas pasien rumah sakit yang melekat di tubuhku. Di
dahiku masih terdapat perban pembalut luka yang menguning. Juga
bekas-bekas luka masih terlihat jelas di kedua sisi wajahku. Tapi yang
paling kuperhatikan saat ini adalah mataku, kedua bola mata onyx yang tampak indah seperti kaca. Aku tersenyum melihat wajahku sendiri di cermin. Perawat dan ayahku juga ikut tersenyum.
Namun
tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku melihat seluruh sudut ruangan,
mencari sosok Dokter Kunio di sana. Sejak tadi malam aku tidak mendengar
suaranya. Padahal aku berharap ia ada bersamaku saat operasi. Saat
membuka mataku juga, aku tidak menemukan sosok pria itu. Aku tidak tahan
untuk bertanya kepada ayahku.
"Ayah... di mana dokter yang telah merawatku?"
Tanpa
perlu kusebutkan namanya, ayahku mengerti siapa yang kumaksud. Ayah
mengambil sebuah amplop putih di atas meja lalu mengulurkannya kepadaku.
Aku mengambil amplop putih itu dari tangannya kemudian langsung
membukanya. Kutemukan sebuah kartu nama di dalamnya. Di sana tertulis
nama "Kunio Akizawa" dengan foto seorang pria berambut hitam yang agak
panjang_ tapi belum bisa dikategorikan gondrong dengan mata onyx
yang sipit. "Tampan", satu kata yang pantas untuk dokter yang baru
berusia dua puluh lima tahun yang tertulis di kartu namanya. Aku meraba
ke dalam amplop itu lagi dan menemukan secarik kertas putih yang
tertulis untukku di bagian sisi depannya. Mataku bergerak cepat,
menelusuri setiap tulisan yang tertera di sana.
Untuk Miranti...
Saat
kau membaca surat ini, mungkin aku sudah kembali ke sisi Tuhan. Aku
minta maaf karena selama ini aku telah menyembunyikan ini darimu.
Sebenarnya aku menderita leukemia dan merasa waktuku sudah tidak lama
lagi. Karena itu, aku memberikan kedua mataku kepadamu, agar kau bisa
melihat dunia kembali. Meskipun kau berpikir tidak bisa melihatku, tapi
percayalah, kau bisa melihatku yang kini menjadi bintang bertaburan di galaksi yang selalu menyinarimu.
Aku merasa gravitasi
semakin kuat menarikku, membuatku terbenam di pelukan ayahku. Aku
sangat menyesal karena baru menyadari semua ini. Saat ia sering terbatuk
dan saat ia berkata "Sibuk berurusan dengan penyakit", ternyata dialah
yang menderita sebuah penyakit. Aku menangis sesenggukan. Saat ini aku
merasa lebih terluka daripada saat aku kehilangan pengelihatanku. Dokter
Kunio sudah seperti magnet yang terus menarikku dan karena itulah aku berjanji untuk selalu menjaga cahaya pemberiannya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar