Jumat, 16 November 2012

Cerpen: Cahaya Mata

"Kehilangan cahaya", ungkapan yang sesuai dengan kondisiku saat ini. Saat panas radiasi matahari menembus lapisan epidermis kulitku, saat debu-debu berterbangan menyesakkan dada, dan saat tetesan air hujan membiaskan cahaya matahari, aku hanya bisa merasakannya tanpa bisa melihatnya langsung. Semua itu bermula setelah kejadian minggu lalu saat aku berjalan melewati gang sempit menuju rumahku. Di pikiranku saat itu hanyalah tugas deskripsi tentang Hukuim-Hukum Newton yang menumpuk, membayangkan kesibukanku dengan lembaran-lembaran kertas yang memenuhi ruang kecilku. Tanpa kusadari, sebuah motor melaju kencang di belakangku, menabrakku dan membuatku roboh seketika.
Aku baru sadar setelah aku merasa tubuhku dibalut lilitan perban yang lengket di kulitku, saat cairan impus meresap dengan daya kapilaritas tinggi ke dalam tubuhku, juga saat aroma karbol yang terasa menusuk ke dalam hidung. Karena itulah aku tahu bahwa aku sedang berada di rumah sakit. Tapi ada satu fakta yang benar-benar mengejutkanku, fakta bahwa aku menjadi buta. Aku tidak bisa melihat gelombang cahaya lagi. Kubayangkan ayahku yang bersusah payah untuk mengumpulkan uang dari pekerjaannya sebagai kuli bangunan kini harus terbebani olehku yang hanya gadis buta dan tak bisa berbuat apa-apa. Aku sempat menyerah dengan kondisiku saat itu. Tapi syukurlah, seseorang telah menyadarkanku, membawaku keluar dari semua keterpurukanku.
Samar-samar aku mendengar langkah kaki seseorang mendekatiku, menyapaku dengan suara yang dalam. "Selamat sore, Mira..."
Dari suaranya dan caranya menyapaku, aku tahu bahwa dia bukan ayahku. Itu pasti Dokter Kunio, tebakku. Dia adalah dokter spesialis mata dari Jepang yang bekerja di rumah sakit tempatku dirawat. Dialah dokter yang telah menyelamatkan nyawaku, hidupku, bahkan kepercayaan diriku setelah aku menjadi buta. Bahkan, dialah yang membiayai seluruh pengobatanku. Dia juga menjamin bahwa sebentar lagi aku akan mendapatkan donor mata dan bisa melihat dunia kembali. Aku bersyukur sekali mengenal Dokter Kunio. Meski aku tidak bisa melihat wajahnya, tapi dari sikap dan gaya tarik yang diberikannya aku tahu bahwa dia adalah dokter muda yang baik dan ramah.
"Bagaimana keadaanmu?" tanyanya dengan gelombang suara yang rendah. Aku merasa ia berada di sisi ranjangku saat ini.
"Syukurlah, baik," jawabku dengan daya yang lemah, kemudian balas bertanya, "Dokter sendiri? "
Terdengar ia menghembuskan napas dalam, kemudian ia mendesah. "Yah... seperti biasa, selalu sibuk berurusan dengan penyakit."
Aku tertawa kecil. "Namanya juga dokter, dimana-mana, ya... tetap saja harus berurusan dengan segala macam penyakit."
Aku mendengar ia juga tertawa kecil, kemudian berkata, "Kau benar, setiap dokter memang harus... uhuk..."
Aku mendengar ia terbatuk seperti biasa, "Dokter tidak apa-apa?" tanyaku cemas.
"Aku baik-baik saja," balasnya meyakinkan. "Aku hanya tersedak."
Aku memangguk paham, meskipun masih kurang yakin. Dokter Kunio mengajakku berbicara, bercerita seperti hari-hari sebelumnya. Ia memang tidak pernah kehabisan bahan pembicaraan. Hal ini lah yang membuatku merasa senang dan tidak bosan bersamanya. Sampai kemudian, ia berkata, "Rencananya malam ini kau akan dioperasi, karena kita telah mendapatkan donor mata."
Seakan menerima sebuah aksi yang besar, aku memberikan reaksi yang sama besar dengan aksi tersebut. Dengan susah payah aku menyembunyikan rona wajahku yang terlalu senang.
"Serius?" tanyaku memastikan lagi, meskipun aku tahu yang baru saja dikatakannya benar-benar serius.
"Tentu saja! Apa aku terdengar seperti sedang berbohong?" sahutnya.
Tanpa kusadari, adrenalinku bekerja sendiri sehingga tanpa sadar aku langsung memeluk Dokter Kunio.
"Terima kasih," ucapku lirih, tidak bisa menahan rasa haruku.
"Iya, sebaiknya kau mempersiapkan diri. Aku sudah mengabari ayahmu tentang rencana operasi malam ini."
Aku tersenyum lega. Akhirnya setelah berhari-hari kehilangan cahaya, aku akan mendapatkan cahaya baru. Dan yang terpenting, aku akan bisa melihat Dokter Kunio, orang yang telah menyelamatkan hidupku.
Aku terus menghitung detik-detik sebelum aku bisa membuka mataku. Terasa olehku seseorang membuka perban yang semalaman telah membalut mataku. Rasanya sudah tidak sabar melihat sekelilingku. Aku membuka mataku perlahan saat aku sudah terbebas dari balutan perban. Yang pertama kali kulihat adalah cahaya bersamaan dengan bayangan semu yang semakin lama semakin jelas terlihat. Aku menatap sekelilingku. Di depanku berdiri ayahku dan juga seorang perawat wanita. Perawat itu melambaikan lengan di depan wajahku.
"Bisa kau lihat?" tanyanya.
Senyum di bibirku mengembang. Kupeluk ayahku yang berdiri di depanku dengan perasaan senang.
"Alhamdulillah..." ucap ayahku senang. Ia mengusap rambutku pelan.
Perawat yang ada di ruanganku itu memberikan sebuah cermin kepadaku. Aku melihat bayangan maya diriku di dalam cermin. Aku melihat sendiri rambut hitam sebahuku masih kusut dan pakaian hijau khas pasien rumah sakit yang melekat di tubuhku. Di dahiku masih terdapat perban pembalut luka yang menguning. Juga bekas-bekas luka masih terlihat jelas di kedua sisi wajahku. Tapi yang paling kuperhatikan saat ini adalah mataku, kedua bola mata onyx yang tampak indah seperti kaca. Aku tersenyum melihat wajahku sendiri di cermin. Perawat dan ayahku juga ikut tersenyum.
Namun tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku melihat seluruh sudut ruangan, mencari sosok Dokter Kunio di sana. Sejak tadi malam aku tidak mendengar suaranya. Padahal aku berharap ia ada bersamaku saat operasi. Saat membuka mataku juga, aku tidak menemukan sosok pria itu. Aku tidak tahan untuk bertanya kepada ayahku.
"Ayah... di mana dokter yang telah merawatku?"
Tanpa perlu kusebutkan namanya, ayahku mengerti siapa yang kumaksud. Ayah mengambil sebuah amplop putih di atas meja lalu mengulurkannya kepadaku. Aku mengambil amplop putih itu dari tangannya kemudian langsung membukanya. Kutemukan sebuah kartu nama di dalamnya. Di sana tertulis nama "Kunio Akizawa" dengan foto seorang pria berambut hitam yang agak panjang_ tapi belum bisa dikategorikan gondrong dengan mata onyx yang sipit. "Tampan", satu kata yang pantas untuk dokter yang baru berusia dua puluh lima tahun yang tertulis di kartu namanya. Aku meraba ke dalam amplop itu lagi dan menemukan secarik kertas putih yang tertulis untukku di bagian sisi depannya. Mataku bergerak cepat, menelusuri setiap tulisan yang tertera di sana.
Untuk Miranti...
Saat kau membaca surat ini, mungkin aku sudah kembali ke sisi Tuhan. Aku minta maaf karena selama ini aku telah menyembunyikan ini darimu. Sebenarnya aku menderita leukemia dan merasa waktuku sudah tidak lama lagi. Karena itu, aku memberikan kedua mataku kepadamu, agar kau bisa melihat dunia kembali. Meskipun kau berpikir tidak bisa melihatku, tapi percayalah, kau bisa melihatku yang kini menjadi bintang bertaburan di galaksi yang selalu menyinarimu.
Aku merasa gravitasi semakin kuat menarikku, membuatku terbenam di pelukan ayahku. Aku sangat menyesal karena baru menyadari semua ini. Saat ia sering terbatuk dan saat ia berkata "Sibuk berurusan dengan penyakit", ternyata dialah yang menderita sebuah penyakit. Aku menangis sesenggukan. Saat ini aku merasa lebih terluka daripada saat aku kehilangan pengelihatanku. Dokter Kunio sudah seperti magnet yang terus menarikku dan karena itulah aku berjanji untuk selalu menjaga cahaya pemberiannya. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar