Jumat, 16 November 2012

Cerpen: Dua Sisi Batu

DUA SISI BATU
Udara sejuk mulai terasa saat mobilku menapaki tanah Kerinci. Setelah menghabiskan waktu kira-kira semalaman di atas mobil, baru pagi ini kami sekeluarga sampai di tanah kelahiranku ini. Tapi perjalanan masih belum berakhir. Kami masih membutuhkan waktu kira-kira dua jam lebih untuk benar-benar sampai di tempat tujuan. Karena itulah aku memutuskan untuk menghabiskan waktuku dengan melihat-lihat pemandangan dari balik kaca mobil sambil mendengarkan lagu-lagu di i-pod kecilku.
Ternyata keputusanku itu benar-benar tepat. Pemandangan hijau alam Kerinci benar-benar menghipnotis sehingga membuatku tak sadar bahwa kami telah sampai di tempat tujuan. Ayah telah berhenti menyetir mobil sambil bersiap-siap turun. Ibuku ternyata juga sudah turun terlebih dahulu. Dari bangku belakang aku mendengar ayah memanggilku. Rupanya ia mengira kalau aku masih tertidur. Aku segera bangkit lalu turun dari mobil sambil meregangkan anggota badanku. Rasa penat yang menjalar akibat perjalanan jauh seketika menghilang setelah aku menarik napas dalam-dalam dan menikmati kesejukan udara sampai paru-paruku terasa membeku. Ternyata udara di sini tidak berubah, pikirku.
Sudah tiga tahun semenjak aku meninggalkan tanah kelahiranku ini, ternyata suasananya tidak jauh berbeda. Rumah-rumah yang terbuat dari kayu masih terlihat di sana-sini. Aku memandang nenekku yang tengah menyambut Ayah dan Ibu di depan teras rumah. Aku menghampirinya lalu menyalaminya. Ia terlihat senang menyambut kedatangan kami. Wajah paruh bayanya tampak tersenyum lebar.
"Dino, bawa barang-barang masuk ke dalam!" suruh ayahku sambil melirik koper di dekat mobil kelabu kami.
Aku menyeret sebuah koper dan sebuah tas punggung masuk ke dalam rumah, sedangkan barang-barang lainnya dibawa oleh ayahku.
Di dalam rumah, aku tidak langsung duduk atau istirahat terlebih dahulu, melainkan langsung berjalan ke luar dengan penampilan apa adanya, lebih tepatnya berantakan. Dengan kaos hitam dan jeans biru yang agak kusut, aku berjalan menyusuri jalanan di depan rumah nenekku tanpa mengindahkan suruhan ibuku untuk sarapan terlebih dahulu.
Tidak jauh aku berjalan, akhirnya aku tiba di sebuah tempat yang masih jelas kuingat. Di sinilah aku, di tepi danau Kerinci yang menyimpan berjuta kenangan masa laluku bersama seseorang yang dulu mengubah hidupku. Angin dingin berhembus pelan menghantarkan gelombang air ke tepi, menerpa bebatuan ke pinggir di tempatku berdiri. Pada akhirnya, angin itu membawaku kembali mengenang masa laluku.
Kala itu aku masih berumur kira-kira sepuluh tahun. Aku memang sering menghambiskan waktuku untuk duduk di tepi danau. Meskipun sendirian dan yang kulakukan hanya berdiam diri, namun kurasa hal itu jauh lebih baik daripada sendirian di rumah yang bagaikan tanpa penghuni itu. Paling tidak di sini aku bisa merasakan hembusan angin dan melihat indahnya pemandangan alam yang terbentang di depanku, mulai dari tingginya Gunung Raya dan air terjunnya sampai dengan cahaya matahari yang berubah warna dari waktu ke waktu.
Aku sering menghabiskan waktu dari hari ke hari di tempat ini sepulang sekolah dan kembali ke rumah setelah awan merah di ufuk barat mulai terlihat. Ayah dan ibuku tidak pernah mengetahui kebiasaanku itu karena mereka terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri. Hanya nenekku saja yang sering mencari keberadaanku ketika aku tidak langsung pulang ke rumah usai sekolah. Aku merasa kesal dengan kehidupanku, kurang mendapatkan perhatian dari kedua orang tuaku dan kurang bisa berinteraksi dengan orang lain, sehingga aku tidak memiliki teman seorang pun. Sampai pada akhirnya dia pun datang, mengubah kehidupanku yang suram itu.
Kejadian itu terjadi di hari ketika aku berdiri di depan danau dan berkaca di dalam airnya yang bening. Hari itu mungkin memang hari terburuk yang kudapatkan di sekolah. Pagi harinya aku dihukum oleh guruku karena terlambat datang ke sekolah, kemudian aku berkelahi dengan salah seorang teman sekelasku karena ia mengejekku. Aku menangis di tepi danau itu, meluapkan semua perasaan yang kupendam sejak pagi. Tiba-tiba aku tergelincir masuk ke dalam danau saat aku mendekat untuk mencuci muka. Meski airnya dangkal dan hanya mencapai sebatas lututku, namun aku tetap panik karena sepatu dan seragamku basah. Lalu seorang anak laki-laki datang. Ia mendekatiku segera dan mengulurkan tangannya untuk menarikku naik kembali ke atas tebing. Anak laki-laki itu berkulit agak gelap. Rambut hitamnya yang agak panjang menutupi sebagian daun telinganya. Pakaian yang ia kenakan juga agak kotor dan lusuh. Ia tampak seperti baru saja bekerja di ladang.
"Kau tidak apa-apa?" tanyanya setelah menarikku keluar dari danau.
Aku hanya terdiam waktu itu. Aku masih menatapi wajah anak itu lekat-lekat.
"Perkenalkan, namaku Rino. Kau?"
Aku agak terkejut mendengar nama anak itu yang agak mirip dengan namaku. Aku masih terdiam dan melupakan pertanyaan anak itu, sampai akhirnya anak itu bertanya lagi.
"Namamu siapa?"
Aku baru menjawab setelah anak itu mengulangi pertanyaannya itu. "Aku Dino," jawabku singkat.
Anak itu tersenyum lebar, menampakkan gigi-gigi putihnya. "Wah... ternyata kita memiliki nama yang mirip. Rumahmu di mana?"
"Dekat sini,"
Anak itu mengangguk. "Aku baru saja pindah ke sini kemaren. Ayahku bertani di sana," katanya sambil menunjuk ke arah bukit di belakang kami. "Lalu, apa yang kau lakukan di sini?"
Aku menggeleng yang mungkin menyisakan tanda tanya di benaknya. "Kau sendiri?" kataku balik bertanya.
"Aku baru saja ingin pulang setelah membantu ayahku bekerja di ladang, kemudian aku melihatmu jatuh ke dalam danau, makanya aku menghampirimu,"
Aku hanya terdiam mendengar penjelasannya, membuat anak itu kembali tersenyum.
"Sebaiknya kau pulang saja sekarang dan mengganti pakaianmu. Aku juga mau pulang karena hari kelihatannya sudah sore. Sampai ketemu besok ya..." kata anak itu yang kemudian mengangkat tangannya dan berbalik pergi meninggalkanku yang masih mematung sendiri.
Aku mengamati langkah anak itu. Ia berjalan menuju jalan beraspal sendirian. Aku pun melangkah pergi setelahnya dengan beribu pertanyaan masih tersimpan di benakku.
Keesokannya masih di tempat yang sama, anak itu ternyata telah berdiri di pinggir danau tempatku terbiasa menghabiskan waktuku. Ia berdiri menghadap hamparan yang terlihat biru dari jauh. Ia berbalik ketika merasakan kehadiranku di belakangnya.
"Sudah pulang dari sekolah?" sapanya. Aku membalasnya dengan tersenyum dan tampaknya ia mengerti.
"Kau tidak sekolah?" tanyaku.
Rino membalasku dengan seringainya yang tampak aneh sebelum menjawab. "Sekolahku sudah usai sejak tadi pagi," jawabnya. "Eh... ayo ke sana!"
Tiba-tiba ia menarik lenganku menuju ke sebuah tempat di mana aku bisa melihat danau lebih dekat lagi. Aku berdiri di atas sebuah batu di mana aku dikelilingi oleh air danau yang dangkal. Aku bersyukur karena tadi aku sempat pulang dan mengganti seragamku dengan pakaian harian. Dengan begitu aku tidak perlu khawatir kalau-kalau pakaianku basah.
"Bagaimana? Dari sini lebih terasa di danau kan?" sahutnya yang sedikit mengejutkanku.
Aku tersenyum. Baru kali ini aku merasa benar-benar memiliki teman. Dialah orang pertama yang menganggapku ada, yang membawaku keluar dari kesepianku selama ini.
"Dino, lihatlah!"
Rino melemparkan sebuah batu yang entah sejak kapan dipegangnya. Batu itu kemudian meloncat-loncat di atas permukaan air sebelum akhirnya tenggelam.
"Bagaimana caranya?" tanyaku heran.
Rino mencari beberapa batu pipih di bagian dangkal danau, kemudian memperlihatkannya kepadaku.
"Kau harus mencari batu yang memiliki dua sisi seperti ini," katanya sembari melemparkan batu pipih yang baru digenggamnya. Batu itu kembali meloncat-loncat. "Ayo coba!"
Rino memberikan sebuah batu pipih kepadaku. Aku mengambilnya, kemudian melemparkannya ke dalam air. Akan tetapi, batu itu langsung tenggelam tanpa meloncat-loncat terlebih dahulu. Aku merasa kecewa.
"Posisi batunya harus datar dulu sebelum dilemparkan. Perhatikan!"
Ia memperlihatkan kepadaku cara melemparkannya, kemudian menyuruhku untuk mencoba lagi. Berkali-kali aku mencoba namun selalu gagal. Tapi akhirnya, aku pun berhasil melakukannya.
"Tuh kan! Kau bisa melakukannya!"
Aku tersenyum senang.
"Nanti kalau kau membutuhkanku, kau lempar saja batu seperti itu ke danau. Aku pasti akan datang," ujarnya.
"Aku tidak yakin kau akan datang."
"Kenapa tidak? Batu yang memiliki dua sisi itu kan bisa diibaratkan sebagai lambang persahabatan."
"Kok bisa?"
"Seorang sahabat tidak akan pernah membiarkan sahabatnya terjatuh ke dalam sebuah masalah. Ia akan terus berusaha mengangkat sahabatnya keluar dari masalah itu meski pada akhirnya ia sendiri akan ikut tenggelam bersama sahabatnya. Sama seperti kedua sisi batu itu. Meskipun pada akhirnya akan tenggelam ke dalam danau, sisi batu yang di bawah akan selalu melindungi sisi batu yang di atas sampai akhirnya ia tidak bisa lagi melindunginya sehingga keduanya tenggelam bersamaan," jelas Rino panjang lebar.
Aku hanya tersenyum mendengar penjelasannya, meskipun sebenarnya aku masih kurang mengerti.
Benar saja, hari-hari berikutnya setiap kali aku melempar batu ke dalam danau, Rino datang tidak lama setelah itu, meskipun tidak selalu. Aku sempat bertanya mengapa hal itu bisa terjadi. Katanya ia mendapatkan insting kalau aku memanggilnya. Kami pun kembali menghabiskan sisa-sisa hari di danau setiap hari.
Entah kenapa aku dan Rino bisa begitu akrab. Baru kali itu aku merasa punya teman akrab yang baik seperti dia. Saat ia tidak datang ke danau karena suatu alasan, aku merasa begitu kesepian. Begitu juga sebaliknya. Kami selalu berbagi cerita dan pengalaman setiap hari di tempat itu, di danau Kerinci. Sampai memasuki sekolah menengah pun, entah sengaja atau tidak kami memasuki sekolah yang sama. Dan selama itu juga, kami tetap sering datang ke tempat pertama kami bertemu meskipun tidak sesering ketika kami di sekolah dasar dulu.
Di sekolah, ternyata Rino adalah salah satu siswa yang pintar. Nilai-nilainya selalu saja berada di atas nilai-nilaiku. Meski begitu, Rino tidak pernah sombong dan selalu membantuku ketika aku agak kesulitan dalam pelajaran. Hingga tak terasa saat-saat sekolah menengah pertamaku sudah hampir tiga tahun berlalu. Aku dan Rino sudah memikirkan akan masuk sekolah menengah atas yang sama.
Di saat hari-hari menjelang ujian nasional, aku berniat menyampaikan perasaanku kepada Erza, teman sekelasku yang diam-diam aku sukai. Aku membuat janji untuk bertemu dengannya usai sekolah. Aku menunggu di belakang gedung sekolah, tempat yang kami janjikan untuk bertemu. Akan tetapi, hampir tiga puluh menit aku menunggu namun belum ada juga tanda-tanda kehadiran Erza. Dalam keadaan resah, aku berpikir kalau-kalau Erza lupa atau berhalangan datang. Aku segera berjalan menuju kelas untuk memastikan apakah ia masih di sekolah atau sudah terlebih dahulu pulang. Namun, apa yang kudapatkan di kelas benar-benar di luar dugaanku. Aku melihat Erza tengah direngkuh oleh Rino, sahabat baikku. Rino segera melepaskan rengkuhannya setelah menyadari kehadiranku.
"Dino?"
Tanpa sadar aku mengepalkan tanganku dan melayangkan pukulan tepat di pipi kanan Rino, meninggalkan bekas kebiruan di sekitar sana. Erza yang melihatnya hanya terbelalak kaget, begitu juga dengan Rino yang mengalaminya sendiri.
"Kupikir kau adalah sahabatku!" bentakku, kemudian aku berlari meninggalkan mereka tanpa menghiraukan panggilan Rino.
Hari-hari berikutnya, hubunganku dengan Rino sudah tidak seperti dulu lagi. Aku sangat membenci pemuda itu yang kukira telah merebut apa yang seharusnya menjadi milikku. Meskipun sebenarnya aku belum memiliki hubungan apa-apa dengan Erza dan Rino sebenarnya memiliki hak untuk mendapatkannya terlebih dahulu, tetapi ia sudah lama tahu kalau aku menyukai Erza. Itulah yang menjadi alasanku mengapa aku bersikap seperti itu kepadanya.
Aku terus mendiamkannya dari hari ke hari meskipun ia setiap hari menyapaku. Hingga pada suatu hari, ayahku dipindahtugaskan ke Kota Jambi dan itu membuat kami harus pindah rumah. Setelah ujian nasional, aku pun bersama keluargaku meninggalkan Kerinci menuju Kota Jambi, tempatku menerima takdirku selanjutnya. Kurasa hal itu jauh lebih baik untuk melupakan masalahku meskipun aku belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Rasanya aneh mengingat hal-hal itu semua. Kini aku tengah berdiri di tepi danau kembali dan kejadian itu sudah tiga tahun berlalu. Aku memejamkan mataku saat kenangan itu kembali lagi menghampiriku, kenangan bersama orang yang sangat berpengaruh dalam hidupku. Rino, ia benar-benar mempengaruhi kehidupanku hingga saat ini. Ia benar-benar mengubahku menjadi kuat dan mampu menatap dunia masa depan. Tapi sayangnya semua harus berakhir dengan penuh kekecewaan. Ia mengkhianati persahabatan kami di saat kami mulai beranjak dewasa. Ia membuatku harus melangkah sendirian dan meninggalkannya. Tapi paling tidak itu keinginannya, pikirku.
Angin dingin terus berhembus dari danau ke tebing. Matahari pun kini telah naik hampir tepat di atas kepala. Tak terasa ternyata aku telah menghabiskan waktuku beberapa jam hanya untuk menatap kosong ke hamparan danau yang luas.
"Dino!"
Aku terkejut ketika mendengar seseorang memanggilku dengan suara yang sepertinya cukup kukenal. Aku membalikkan tubuhku dan mendapati seorang pemuda berwajah agak gelap dengan rambut yang agak panjang_namun belum dikatakan gondrong_berdiri di hadapanku. Aku menatap kedua pupil hitamnya lekat-lekat dan setelah itu aku benar-benar yakin bahwa ia adalah Rino. Wajah itu, senyum itu, rasanya benar-benar membawaku kembali ke masa lalu. Ingin sekali rasanya aku merengkuhnya, memeluknya dan melepaskan semua rasa rinduku kepadanya. Namun kuurungkan niatku saat aku teringat kejadian terakhir itu, kejadian yang sangat menyakitkan bagiku.
"Kau siapa?" tanyaku pura-pura tak mengenalnya.
Senyum di wajahnya memudar. Sinar matanya menampakkan kesedihan.
"Apakah kau benar-benar membenciku sampai berpura-pura tak mengenalku?"
Ternyata ia tahu bahwa aku hanya berpura-pura tak mengenalnya. Aku menatapnya sejenak kemudian melangkah meninggalkannya, namun ia menahanku.
"Kumohon, dengarkan dulu penjelasanku!" pintanya.
"Kurasa tidak ada yang perlu kau jelaskan. Aku sudah melupakan kejadian itu dan kini kita sudah berjalan di jalan kita masing-masing."
"Aku yakin kau masih memikirkannya," sanggah Rino cepat.
Ya, memang benar. Aku tidak bisa melupakan kejadian itu, mungkin selamanya.
"Cepat, katakan! Aku harus segera pulang!" sahutku dengan nada yang tak bersahabat. Kemudian, aku membalikkan tubuhku kembali membelakanginya.
Rino menatap hamparan danau yang luas di depannya sebelum mulai berbicara, "Selama ini kau sudah salah paham. Sebenarnya Erza sudah mengetahui rencanamu untuk menyatakan perasaanmu kepadanya, karena itulah ia menemuiku."
"Tunggu dulu, ada urusan apa sampai ia harus menemuimu?" tanyaku yang mungkin terkesan dingin olehnya.
Rino menarik napas dalam-dalam sebelum kembali melanjutkan pembicaraannya, "Ia meminta pendapatku bagaimana cara meminta maaf kepadamu karena ia tidak bisa menerima cintamu."
Tanpa sadar, aku menggertakkan gigiku. Mungkin karena aku berpikir bahwa Erza menolakku karena pemuda di depanku ini.
"Itu semua bukan karena ia tidak menyukaimu," lanjutnya yang sukses mengejutkanku. "Sebenarnya ia juga sangat menyukaimu. Tapi... ia tidak bisa menerima cintamu karena ia tidak ingin mengecewakanmu kalau-kalau ia harus memutuskan hubungan kalian tiba-tiba. Itu semua karena ia menderita leukemia."
Aku sangat terkejut mendengar perkataan Rino. "Leukemia?"
Rino mengangguk, "Ia takut membuatmu terluka karena penyakit itu bisa saja merenggut nyawanya tiba-tiba. Waktu itu ia bercerita kepadaku dan ia tak sanggup menahan air matanya. Karena itulah aku merengkuhnya untuk sedikit menenangkannya."
Tubuhku gemetar tiba-tiba. Aku merasa sangat bersalah karena selama ini tidak mendengar penjelasan Rino.
"Se... sekarang di mana dia? Di mana Erza?"
Rino menunduk. Aku dapat melihat matanya berkaca-kaca.
"Seminggu setelah kepergiaanmu, penyakit itu merenggut nyawanya."
Perkataan Rino membuatku benar-benar merasa bersalah. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Aku merasa cairan bening mulai mengalir dari kedua sudut mataku. Tiba-tiba saja Rino merengkuhku, mencoba menenangkanku.
"Aku tahu ini sangat berat. Maafkan aku karena tidak memberitahumu sejak dulu," dari suaranya yang terdengar gemetar, aku tahu kalau Rino saat ini sedang berusaha untuk menahan kesedihannya.
"Maafkan aku..." ucapku pelan, tapi cukup terdengar keras oleh Rino. "Maafkan aku..."
Aku merasa benar-benar hina. Permintaan maafku tidak akan pernah cukup untuk menebus semua kesalahanku kepadanya. Rino melepaskanku, kemudian tersenyum menatapku.
"Tidak ada yang perlu dipermasalahkan lagi sekarang," katanya. "Bukankah kita ini teman yang akan saling membantu jika ada salah satu dari kita yang terjatuh?"
Aku mengangguk, "Terima kasih karena kau masih menganggapku teman."
Rino menyeringai dengan seringaiannya yang khas seperti dulu. Ternyata tidak banyak yang berubah darinya, pikirku. Ia mengambil beberapa batu pipih kemudian melemparkannya ke danau. Batu itu meloncat-loncat sebelum ia terbenam. Sekarang aku benar-benar mengerti maksud dari perkataannya saat kami berumur sepuluh tahun dulu.
"Sekarang kau sudah mengerti dengan filosofi yang mengatakan bahwa persahabatan sama dengan batu bersisi dua, bukan?
"Tentu saja," jawabku.
"Oh iya, selamat atas kelulusanmu. Rencananya kau mau melanjutkan kuliah di mana?"
"Kalau aku sih terserah. Tapi orang tuaku menginginkanku masuk fakultas kedokteran di Universitas Indonesia. Kau?"
Rino tersenyum pahit, kemudian menjawab pertanyaanku, "Kurasa aku sedikit kurang beruntung darimu. Tahun lalu ayahku meninggal karena sakit dan itu membuatku harus hidup sendirian. Aku harus membiayai sekolahku sendiri dengan bekerja di ladang. Dan akhirnya, aku bisa menyelesaikan sekolahku sampai akhir meskipun aku tidak bisa melanjutkan kuliah."
"Sepertinya aku bisa membantumu. Orang tuaku tidak akan keberatan untuk sekedar membantu membiayai kuliahmu."
"Terima kasih, tapi..."
"Bukankah kita ini teman? Teman harus saling membantu, bukan?" tanggapku cepat. "Mungkin ini satu-satunya hal yang bisa kulakukan untuk membalas kebaikanmu selama ini,"
Ia tersenyum, "Terima kasih banyak."
Matahari saat ini benar-benar sudah berada di atas kepala. Panasnya mulai terasa melelehkan pagi yang dingin. Jalanan beraspal mulai diisi oleh beberapa orang pejalan kaki. Saat itulah awan pagi menghilang dan langit biru sepenuhnya menantang permukaan danau. Namun di balik tantangan itu, sebuah persahabatan kini terjalin kembali. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar