Jumat, 16 November 2012

Cerpen: Cahaya Mata

"Kehilangan cahaya", ungkapan yang sesuai dengan kondisiku saat ini. Saat panas radiasi matahari menembus lapisan epidermis kulitku, saat debu-debu berterbangan menyesakkan dada, dan saat tetesan air hujan membiaskan cahaya matahari, aku hanya bisa merasakannya tanpa bisa melihatnya langsung. Semua itu bermula setelah kejadian minggu lalu saat aku berjalan melewati gang sempit menuju rumahku. Di pikiranku saat itu hanyalah tugas deskripsi tentang Hukuim-Hukum Newton yang menumpuk, membayangkan kesibukanku dengan lembaran-lembaran kertas yang memenuhi ruang kecilku. Tanpa kusadari, sebuah motor melaju kencang di belakangku, menabrakku dan membuatku roboh seketika.
Aku baru sadar setelah aku merasa tubuhku dibalut lilitan perban yang lengket di kulitku, saat cairan impus meresap dengan daya kapilaritas tinggi ke dalam tubuhku, juga saat aroma karbol yang terasa menusuk ke dalam hidung. Karena itulah aku tahu bahwa aku sedang berada di rumah sakit. Tapi ada satu fakta yang benar-benar mengejutkanku, fakta bahwa aku menjadi buta. Aku tidak bisa melihat gelombang cahaya lagi. Kubayangkan ayahku yang bersusah payah untuk mengumpulkan uang dari pekerjaannya sebagai kuli bangunan kini harus terbebani olehku yang hanya gadis buta dan tak bisa berbuat apa-apa. Aku sempat menyerah dengan kondisiku saat itu. Tapi syukurlah, seseorang telah menyadarkanku, membawaku keluar dari semua keterpurukanku.
Samar-samar aku mendengar langkah kaki seseorang mendekatiku, menyapaku dengan suara yang dalam. "Selamat sore, Mira..."
Dari suaranya dan caranya menyapaku, aku tahu bahwa dia bukan ayahku. Itu pasti Dokter Kunio, tebakku. Dia adalah dokter spesialis mata dari Jepang yang bekerja di rumah sakit tempatku dirawat. Dialah dokter yang telah menyelamatkan nyawaku, hidupku, bahkan kepercayaan diriku setelah aku menjadi buta. Bahkan, dialah yang membiayai seluruh pengobatanku. Dia juga menjamin bahwa sebentar lagi aku akan mendapatkan donor mata dan bisa melihat dunia kembali. Aku bersyukur sekali mengenal Dokter Kunio. Meski aku tidak bisa melihat wajahnya, tapi dari sikap dan gaya tarik yang diberikannya aku tahu bahwa dia adalah dokter muda yang baik dan ramah.
"Bagaimana keadaanmu?" tanyanya dengan gelombang suara yang rendah. Aku merasa ia berada di sisi ranjangku saat ini.
"Syukurlah, baik," jawabku dengan daya yang lemah, kemudian balas bertanya, "Dokter sendiri? "
Terdengar ia menghembuskan napas dalam, kemudian ia mendesah. "Yah... seperti biasa, selalu sibuk berurusan dengan penyakit."
Aku tertawa kecil. "Namanya juga dokter, dimana-mana, ya... tetap saja harus berurusan dengan segala macam penyakit."
Aku mendengar ia juga tertawa kecil, kemudian berkata, "Kau benar, setiap dokter memang harus... uhuk..."
Aku mendengar ia terbatuk seperti biasa, "Dokter tidak apa-apa?" tanyaku cemas.
"Aku baik-baik saja," balasnya meyakinkan. "Aku hanya tersedak."
Aku memangguk paham, meskipun masih kurang yakin. Dokter Kunio mengajakku berbicara, bercerita seperti hari-hari sebelumnya. Ia memang tidak pernah kehabisan bahan pembicaraan. Hal ini lah yang membuatku merasa senang dan tidak bosan bersamanya. Sampai kemudian, ia berkata, "Rencananya malam ini kau akan dioperasi, karena kita telah mendapatkan donor mata."
Seakan menerima sebuah aksi yang besar, aku memberikan reaksi yang sama besar dengan aksi tersebut. Dengan susah payah aku menyembunyikan rona wajahku yang terlalu senang.
"Serius?" tanyaku memastikan lagi, meskipun aku tahu yang baru saja dikatakannya benar-benar serius.
"Tentu saja! Apa aku terdengar seperti sedang berbohong?" sahutnya.
Tanpa kusadari, adrenalinku bekerja sendiri sehingga tanpa sadar aku langsung memeluk Dokter Kunio.
"Terima kasih," ucapku lirih, tidak bisa menahan rasa haruku.
"Iya, sebaiknya kau mempersiapkan diri. Aku sudah mengabari ayahmu tentang rencana operasi malam ini."
Aku tersenyum lega. Akhirnya setelah berhari-hari kehilangan cahaya, aku akan mendapatkan cahaya baru. Dan yang terpenting, aku akan bisa melihat Dokter Kunio, orang yang telah menyelamatkan hidupku.
Aku terus menghitung detik-detik sebelum aku bisa membuka mataku. Terasa olehku seseorang membuka perban yang semalaman telah membalut mataku. Rasanya sudah tidak sabar melihat sekelilingku. Aku membuka mataku perlahan saat aku sudah terbebas dari balutan perban. Yang pertama kali kulihat adalah cahaya bersamaan dengan bayangan semu yang semakin lama semakin jelas terlihat. Aku menatap sekelilingku. Di depanku berdiri ayahku dan juga seorang perawat wanita. Perawat itu melambaikan lengan di depan wajahku.
"Bisa kau lihat?" tanyanya.
Senyum di bibirku mengembang. Kupeluk ayahku yang berdiri di depanku dengan perasaan senang.
"Alhamdulillah..." ucap ayahku senang. Ia mengusap rambutku pelan.
Perawat yang ada di ruanganku itu memberikan sebuah cermin kepadaku. Aku melihat bayangan maya diriku di dalam cermin. Aku melihat sendiri rambut hitam sebahuku masih kusut dan pakaian hijau khas pasien rumah sakit yang melekat di tubuhku. Di dahiku masih terdapat perban pembalut luka yang menguning. Juga bekas-bekas luka masih terlihat jelas di kedua sisi wajahku. Tapi yang paling kuperhatikan saat ini adalah mataku, kedua bola mata onyx yang tampak indah seperti kaca. Aku tersenyum melihat wajahku sendiri di cermin. Perawat dan ayahku juga ikut tersenyum.
Namun tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku melihat seluruh sudut ruangan, mencari sosok Dokter Kunio di sana. Sejak tadi malam aku tidak mendengar suaranya. Padahal aku berharap ia ada bersamaku saat operasi. Saat membuka mataku juga, aku tidak menemukan sosok pria itu. Aku tidak tahan untuk bertanya kepada ayahku.
"Ayah... di mana dokter yang telah merawatku?"
Tanpa perlu kusebutkan namanya, ayahku mengerti siapa yang kumaksud. Ayah mengambil sebuah amplop putih di atas meja lalu mengulurkannya kepadaku. Aku mengambil amplop putih itu dari tangannya kemudian langsung membukanya. Kutemukan sebuah kartu nama di dalamnya. Di sana tertulis nama "Kunio Akizawa" dengan foto seorang pria berambut hitam yang agak panjang_ tapi belum bisa dikategorikan gondrong dengan mata onyx yang sipit. "Tampan", satu kata yang pantas untuk dokter yang baru berusia dua puluh lima tahun yang tertulis di kartu namanya. Aku meraba ke dalam amplop itu lagi dan menemukan secarik kertas putih yang tertulis untukku di bagian sisi depannya. Mataku bergerak cepat, menelusuri setiap tulisan yang tertera di sana.
Untuk Miranti...
Saat kau membaca surat ini, mungkin aku sudah kembali ke sisi Tuhan. Aku minta maaf karena selama ini aku telah menyembunyikan ini darimu. Sebenarnya aku menderita leukemia dan merasa waktuku sudah tidak lama lagi. Karena itu, aku memberikan kedua mataku kepadamu, agar kau bisa melihat dunia kembali. Meskipun kau berpikir tidak bisa melihatku, tapi percayalah, kau bisa melihatku yang kini menjadi bintang bertaburan di galaksi yang selalu menyinarimu.
Aku merasa gravitasi semakin kuat menarikku, membuatku terbenam di pelukan ayahku. Aku sangat menyesal karena baru menyadari semua ini. Saat ia sering terbatuk dan saat ia berkata "Sibuk berurusan dengan penyakit", ternyata dialah yang menderita sebuah penyakit. Aku menangis sesenggukan. Saat ini aku merasa lebih terluka daripada saat aku kehilangan pengelihatanku. Dokter Kunio sudah seperti magnet yang terus menarikku dan karena itulah aku berjanji untuk selalu menjaga cahaya pemberiannya. ***

Cerpen: Dua Sisi Batu

DUA SISI BATU
Udara sejuk mulai terasa saat mobilku menapaki tanah Kerinci. Setelah menghabiskan waktu kira-kira semalaman di atas mobil, baru pagi ini kami sekeluarga sampai di tanah kelahiranku ini. Tapi perjalanan masih belum berakhir. Kami masih membutuhkan waktu kira-kira dua jam lebih untuk benar-benar sampai di tempat tujuan. Karena itulah aku memutuskan untuk menghabiskan waktuku dengan melihat-lihat pemandangan dari balik kaca mobil sambil mendengarkan lagu-lagu di i-pod kecilku.
Ternyata keputusanku itu benar-benar tepat. Pemandangan hijau alam Kerinci benar-benar menghipnotis sehingga membuatku tak sadar bahwa kami telah sampai di tempat tujuan. Ayah telah berhenti menyetir mobil sambil bersiap-siap turun. Ibuku ternyata juga sudah turun terlebih dahulu. Dari bangku belakang aku mendengar ayah memanggilku. Rupanya ia mengira kalau aku masih tertidur. Aku segera bangkit lalu turun dari mobil sambil meregangkan anggota badanku. Rasa penat yang menjalar akibat perjalanan jauh seketika menghilang setelah aku menarik napas dalam-dalam dan menikmati kesejukan udara sampai paru-paruku terasa membeku. Ternyata udara di sini tidak berubah, pikirku.
Sudah tiga tahun semenjak aku meninggalkan tanah kelahiranku ini, ternyata suasananya tidak jauh berbeda. Rumah-rumah yang terbuat dari kayu masih terlihat di sana-sini. Aku memandang nenekku yang tengah menyambut Ayah dan Ibu di depan teras rumah. Aku menghampirinya lalu menyalaminya. Ia terlihat senang menyambut kedatangan kami. Wajah paruh bayanya tampak tersenyum lebar.
"Dino, bawa barang-barang masuk ke dalam!" suruh ayahku sambil melirik koper di dekat mobil kelabu kami.
Aku menyeret sebuah koper dan sebuah tas punggung masuk ke dalam rumah, sedangkan barang-barang lainnya dibawa oleh ayahku.
Di dalam rumah, aku tidak langsung duduk atau istirahat terlebih dahulu, melainkan langsung berjalan ke luar dengan penampilan apa adanya, lebih tepatnya berantakan. Dengan kaos hitam dan jeans biru yang agak kusut, aku berjalan menyusuri jalanan di depan rumah nenekku tanpa mengindahkan suruhan ibuku untuk sarapan terlebih dahulu.
Tidak jauh aku berjalan, akhirnya aku tiba di sebuah tempat yang masih jelas kuingat. Di sinilah aku, di tepi danau Kerinci yang menyimpan berjuta kenangan masa laluku bersama seseorang yang dulu mengubah hidupku. Angin dingin berhembus pelan menghantarkan gelombang air ke tepi, menerpa bebatuan ke pinggir di tempatku berdiri. Pada akhirnya, angin itu membawaku kembali mengenang masa laluku.
Kala itu aku masih berumur kira-kira sepuluh tahun. Aku memang sering menghambiskan waktuku untuk duduk di tepi danau. Meskipun sendirian dan yang kulakukan hanya berdiam diri, namun kurasa hal itu jauh lebih baik daripada sendirian di rumah yang bagaikan tanpa penghuni itu. Paling tidak di sini aku bisa merasakan hembusan angin dan melihat indahnya pemandangan alam yang terbentang di depanku, mulai dari tingginya Gunung Raya dan air terjunnya sampai dengan cahaya matahari yang berubah warna dari waktu ke waktu.
Aku sering menghabiskan waktu dari hari ke hari di tempat ini sepulang sekolah dan kembali ke rumah setelah awan merah di ufuk barat mulai terlihat. Ayah dan ibuku tidak pernah mengetahui kebiasaanku itu karena mereka terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri. Hanya nenekku saja yang sering mencari keberadaanku ketika aku tidak langsung pulang ke rumah usai sekolah. Aku merasa kesal dengan kehidupanku, kurang mendapatkan perhatian dari kedua orang tuaku dan kurang bisa berinteraksi dengan orang lain, sehingga aku tidak memiliki teman seorang pun. Sampai pada akhirnya dia pun datang, mengubah kehidupanku yang suram itu.
Kejadian itu terjadi di hari ketika aku berdiri di depan danau dan berkaca di dalam airnya yang bening. Hari itu mungkin memang hari terburuk yang kudapatkan di sekolah. Pagi harinya aku dihukum oleh guruku karena terlambat datang ke sekolah, kemudian aku berkelahi dengan salah seorang teman sekelasku karena ia mengejekku. Aku menangis di tepi danau itu, meluapkan semua perasaan yang kupendam sejak pagi. Tiba-tiba aku tergelincir masuk ke dalam danau saat aku mendekat untuk mencuci muka. Meski airnya dangkal dan hanya mencapai sebatas lututku, namun aku tetap panik karena sepatu dan seragamku basah. Lalu seorang anak laki-laki datang. Ia mendekatiku segera dan mengulurkan tangannya untuk menarikku naik kembali ke atas tebing. Anak laki-laki itu berkulit agak gelap. Rambut hitamnya yang agak panjang menutupi sebagian daun telinganya. Pakaian yang ia kenakan juga agak kotor dan lusuh. Ia tampak seperti baru saja bekerja di ladang.
"Kau tidak apa-apa?" tanyanya setelah menarikku keluar dari danau.
Aku hanya terdiam waktu itu. Aku masih menatapi wajah anak itu lekat-lekat.
"Perkenalkan, namaku Rino. Kau?"
Aku agak terkejut mendengar nama anak itu yang agak mirip dengan namaku. Aku masih terdiam dan melupakan pertanyaan anak itu, sampai akhirnya anak itu bertanya lagi.
"Namamu siapa?"
Aku baru menjawab setelah anak itu mengulangi pertanyaannya itu. "Aku Dino," jawabku singkat.
Anak itu tersenyum lebar, menampakkan gigi-gigi putihnya. "Wah... ternyata kita memiliki nama yang mirip. Rumahmu di mana?"
"Dekat sini,"
Anak itu mengangguk. "Aku baru saja pindah ke sini kemaren. Ayahku bertani di sana," katanya sambil menunjuk ke arah bukit di belakang kami. "Lalu, apa yang kau lakukan di sini?"
Aku menggeleng yang mungkin menyisakan tanda tanya di benaknya. "Kau sendiri?" kataku balik bertanya.
"Aku baru saja ingin pulang setelah membantu ayahku bekerja di ladang, kemudian aku melihatmu jatuh ke dalam danau, makanya aku menghampirimu,"
Aku hanya terdiam mendengar penjelasannya, membuat anak itu kembali tersenyum.
"Sebaiknya kau pulang saja sekarang dan mengganti pakaianmu. Aku juga mau pulang karena hari kelihatannya sudah sore. Sampai ketemu besok ya..." kata anak itu yang kemudian mengangkat tangannya dan berbalik pergi meninggalkanku yang masih mematung sendiri.
Aku mengamati langkah anak itu. Ia berjalan menuju jalan beraspal sendirian. Aku pun melangkah pergi setelahnya dengan beribu pertanyaan masih tersimpan di benakku.
Keesokannya masih di tempat yang sama, anak itu ternyata telah berdiri di pinggir danau tempatku terbiasa menghabiskan waktuku. Ia berdiri menghadap hamparan yang terlihat biru dari jauh. Ia berbalik ketika merasakan kehadiranku di belakangnya.
"Sudah pulang dari sekolah?" sapanya. Aku membalasnya dengan tersenyum dan tampaknya ia mengerti.
"Kau tidak sekolah?" tanyaku.
Rino membalasku dengan seringainya yang tampak aneh sebelum menjawab. "Sekolahku sudah usai sejak tadi pagi," jawabnya. "Eh... ayo ke sana!"
Tiba-tiba ia menarik lenganku menuju ke sebuah tempat di mana aku bisa melihat danau lebih dekat lagi. Aku berdiri di atas sebuah batu di mana aku dikelilingi oleh air danau yang dangkal. Aku bersyukur karena tadi aku sempat pulang dan mengganti seragamku dengan pakaian harian. Dengan begitu aku tidak perlu khawatir kalau-kalau pakaianku basah.
"Bagaimana? Dari sini lebih terasa di danau kan?" sahutnya yang sedikit mengejutkanku.
Aku tersenyum. Baru kali ini aku merasa benar-benar memiliki teman. Dialah orang pertama yang menganggapku ada, yang membawaku keluar dari kesepianku selama ini.
"Dino, lihatlah!"
Rino melemparkan sebuah batu yang entah sejak kapan dipegangnya. Batu itu kemudian meloncat-loncat di atas permukaan air sebelum akhirnya tenggelam.
"Bagaimana caranya?" tanyaku heran.
Rino mencari beberapa batu pipih di bagian dangkal danau, kemudian memperlihatkannya kepadaku.
"Kau harus mencari batu yang memiliki dua sisi seperti ini," katanya sembari melemparkan batu pipih yang baru digenggamnya. Batu itu kembali meloncat-loncat. "Ayo coba!"
Rino memberikan sebuah batu pipih kepadaku. Aku mengambilnya, kemudian melemparkannya ke dalam air. Akan tetapi, batu itu langsung tenggelam tanpa meloncat-loncat terlebih dahulu. Aku merasa kecewa.
"Posisi batunya harus datar dulu sebelum dilemparkan. Perhatikan!"
Ia memperlihatkan kepadaku cara melemparkannya, kemudian menyuruhku untuk mencoba lagi. Berkali-kali aku mencoba namun selalu gagal. Tapi akhirnya, aku pun berhasil melakukannya.
"Tuh kan! Kau bisa melakukannya!"
Aku tersenyum senang.
"Nanti kalau kau membutuhkanku, kau lempar saja batu seperti itu ke danau. Aku pasti akan datang," ujarnya.
"Aku tidak yakin kau akan datang."
"Kenapa tidak? Batu yang memiliki dua sisi itu kan bisa diibaratkan sebagai lambang persahabatan."
"Kok bisa?"
"Seorang sahabat tidak akan pernah membiarkan sahabatnya terjatuh ke dalam sebuah masalah. Ia akan terus berusaha mengangkat sahabatnya keluar dari masalah itu meski pada akhirnya ia sendiri akan ikut tenggelam bersama sahabatnya. Sama seperti kedua sisi batu itu. Meskipun pada akhirnya akan tenggelam ke dalam danau, sisi batu yang di bawah akan selalu melindungi sisi batu yang di atas sampai akhirnya ia tidak bisa lagi melindunginya sehingga keduanya tenggelam bersamaan," jelas Rino panjang lebar.
Aku hanya tersenyum mendengar penjelasannya, meskipun sebenarnya aku masih kurang mengerti.
Benar saja, hari-hari berikutnya setiap kali aku melempar batu ke dalam danau, Rino datang tidak lama setelah itu, meskipun tidak selalu. Aku sempat bertanya mengapa hal itu bisa terjadi. Katanya ia mendapatkan insting kalau aku memanggilnya. Kami pun kembali menghabiskan sisa-sisa hari di danau setiap hari.
Entah kenapa aku dan Rino bisa begitu akrab. Baru kali itu aku merasa punya teman akrab yang baik seperti dia. Saat ia tidak datang ke danau karena suatu alasan, aku merasa begitu kesepian. Begitu juga sebaliknya. Kami selalu berbagi cerita dan pengalaman setiap hari di tempat itu, di danau Kerinci. Sampai memasuki sekolah menengah pun, entah sengaja atau tidak kami memasuki sekolah yang sama. Dan selama itu juga, kami tetap sering datang ke tempat pertama kami bertemu meskipun tidak sesering ketika kami di sekolah dasar dulu.
Di sekolah, ternyata Rino adalah salah satu siswa yang pintar. Nilai-nilainya selalu saja berada di atas nilai-nilaiku. Meski begitu, Rino tidak pernah sombong dan selalu membantuku ketika aku agak kesulitan dalam pelajaran. Hingga tak terasa saat-saat sekolah menengah pertamaku sudah hampir tiga tahun berlalu. Aku dan Rino sudah memikirkan akan masuk sekolah menengah atas yang sama.
Di saat hari-hari menjelang ujian nasional, aku berniat menyampaikan perasaanku kepada Erza, teman sekelasku yang diam-diam aku sukai. Aku membuat janji untuk bertemu dengannya usai sekolah. Aku menunggu di belakang gedung sekolah, tempat yang kami janjikan untuk bertemu. Akan tetapi, hampir tiga puluh menit aku menunggu namun belum ada juga tanda-tanda kehadiran Erza. Dalam keadaan resah, aku berpikir kalau-kalau Erza lupa atau berhalangan datang. Aku segera berjalan menuju kelas untuk memastikan apakah ia masih di sekolah atau sudah terlebih dahulu pulang. Namun, apa yang kudapatkan di kelas benar-benar di luar dugaanku. Aku melihat Erza tengah direngkuh oleh Rino, sahabat baikku. Rino segera melepaskan rengkuhannya setelah menyadari kehadiranku.
"Dino?"
Tanpa sadar aku mengepalkan tanganku dan melayangkan pukulan tepat di pipi kanan Rino, meninggalkan bekas kebiruan di sekitar sana. Erza yang melihatnya hanya terbelalak kaget, begitu juga dengan Rino yang mengalaminya sendiri.
"Kupikir kau adalah sahabatku!" bentakku, kemudian aku berlari meninggalkan mereka tanpa menghiraukan panggilan Rino.
Hari-hari berikutnya, hubunganku dengan Rino sudah tidak seperti dulu lagi. Aku sangat membenci pemuda itu yang kukira telah merebut apa yang seharusnya menjadi milikku. Meskipun sebenarnya aku belum memiliki hubungan apa-apa dengan Erza dan Rino sebenarnya memiliki hak untuk mendapatkannya terlebih dahulu, tetapi ia sudah lama tahu kalau aku menyukai Erza. Itulah yang menjadi alasanku mengapa aku bersikap seperti itu kepadanya.
Aku terus mendiamkannya dari hari ke hari meskipun ia setiap hari menyapaku. Hingga pada suatu hari, ayahku dipindahtugaskan ke Kota Jambi dan itu membuat kami harus pindah rumah. Setelah ujian nasional, aku pun bersama keluargaku meninggalkan Kerinci menuju Kota Jambi, tempatku menerima takdirku selanjutnya. Kurasa hal itu jauh lebih baik untuk melupakan masalahku meskipun aku belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Rasanya aneh mengingat hal-hal itu semua. Kini aku tengah berdiri di tepi danau kembali dan kejadian itu sudah tiga tahun berlalu. Aku memejamkan mataku saat kenangan itu kembali lagi menghampiriku, kenangan bersama orang yang sangat berpengaruh dalam hidupku. Rino, ia benar-benar mempengaruhi kehidupanku hingga saat ini. Ia benar-benar mengubahku menjadi kuat dan mampu menatap dunia masa depan. Tapi sayangnya semua harus berakhir dengan penuh kekecewaan. Ia mengkhianati persahabatan kami di saat kami mulai beranjak dewasa. Ia membuatku harus melangkah sendirian dan meninggalkannya. Tapi paling tidak itu keinginannya, pikirku.
Angin dingin terus berhembus dari danau ke tebing. Matahari pun kini telah naik hampir tepat di atas kepala. Tak terasa ternyata aku telah menghabiskan waktuku beberapa jam hanya untuk menatap kosong ke hamparan danau yang luas.
"Dino!"
Aku terkejut ketika mendengar seseorang memanggilku dengan suara yang sepertinya cukup kukenal. Aku membalikkan tubuhku dan mendapati seorang pemuda berwajah agak gelap dengan rambut yang agak panjang_namun belum dikatakan gondrong_berdiri di hadapanku. Aku menatap kedua pupil hitamnya lekat-lekat dan setelah itu aku benar-benar yakin bahwa ia adalah Rino. Wajah itu, senyum itu, rasanya benar-benar membawaku kembali ke masa lalu. Ingin sekali rasanya aku merengkuhnya, memeluknya dan melepaskan semua rasa rinduku kepadanya. Namun kuurungkan niatku saat aku teringat kejadian terakhir itu, kejadian yang sangat menyakitkan bagiku.
"Kau siapa?" tanyaku pura-pura tak mengenalnya.
Senyum di wajahnya memudar. Sinar matanya menampakkan kesedihan.
"Apakah kau benar-benar membenciku sampai berpura-pura tak mengenalku?"
Ternyata ia tahu bahwa aku hanya berpura-pura tak mengenalnya. Aku menatapnya sejenak kemudian melangkah meninggalkannya, namun ia menahanku.
"Kumohon, dengarkan dulu penjelasanku!" pintanya.
"Kurasa tidak ada yang perlu kau jelaskan. Aku sudah melupakan kejadian itu dan kini kita sudah berjalan di jalan kita masing-masing."
"Aku yakin kau masih memikirkannya," sanggah Rino cepat.
Ya, memang benar. Aku tidak bisa melupakan kejadian itu, mungkin selamanya.
"Cepat, katakan! Aku harus segera pulang!" sahutku dengan nada yang tak bersahabat. Kemudian, aku membalikkan tubuhku kembali membelakanginya.
Rino menatap hamparan danau yang luas di depannya sebelum mulai berbicara, "Selama ini kau sudah salah paham. Sebenarnya Erza sudah mengetahui rencanamu untuk menyatakan perasaanmu kepadanya, karena itulah ia menemuiku."
"Tunggu dulu, ada urusan apa sampai ia harus menemuimu?" tanyaku yang mungkin terkesan dingin olehnya.
Rino menarik napas dalam-dalam sebelum kembali melanjutkan pembicaraannya, "Ia meminta pendapatku bagaimana cara meminta maaf kepadamu karena ia tidak bisa menerima cintamu."
Tanpa sadar, aku menggertakkan gigiku. Mungkin karena aku berpikir bahwa Erza menolakku karena pemuda di depanku ini.
"Itu semua bukan karena ia tidak menyukaimu," lanjutnya yang sukses mengejutkanku. "Sebenarnya ia juga sangat menyukaimu. Tapi... ia tidak bisa menerima cintamu karena ia tidak ingin mengecewakanmu kalau-kalau ia harus memutuskan hubungan kalian tiba-tiba. Itu semua karena ia menderita leukemia."
Aku sangat terkejut mendengar perkataan Rino. "Leukemia?"
Rino mengangguk, "Ia takut membuatmu terluka karena penyakit itu bisa saja merenggut nyawanya tiba-tiba. Waktu itu ia bercerita kepadaku dan ia tak sanggup menahan air matanya. Karena itulah aku merengkuhnya untuk sedikit menenangkannya."
Tubuhku gemetar tiba-tiba. Aku merasa sangat bersalah karena selama ini tidak mendengar penjelasan Rino.
"Se... sekarang di mana dia? Di mana Erza?"
Rino menunduk. Aku dapat melihat matanya berkaca-kaca.
"Seminggu setelah kepergiaanmu, penyakit itu merenggut nyawanya."
Perkataan Rino membuatku benar-benar merasa bersalah. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Aku merasa cairan bening mulai mengalir dari kedua sudut mataku. Tiba-tiba saja Rino merengkuhku, mencoba menenangkanku.
"Aku tahu ini sangat berat. Maafkan aku karena tidak memberitahumu sejak dulu," dari suaranya yang terdengar gemetar, aku tahu kalau Rino saat ini sedang berusaha untuk menahan kesedihannya.
"Maafkan aku..." ucapku pelan, tapi cukup terdengar keras oleh Rino. "Maafkan aku..."
Aku merasa benar-benar hina. Permintaan maafku tidak akan pernah cukup untuk menebus semua kesalahanku kepadanya. Rino melepaskanku, kemudian tersenyum menatapku.
"Tidak ada yang perlu dipermasalahkan lagi sekarang," katanya. "Bukankah kita ini teman yang akan saling membantu jika ada salah satu dari kita yang terjatuh?"
Aku mengangguk, "Terima kasih karena kau masih menganggapku teman."
Rino menyeringai dengan seringaiannya yang khas seperti dulu. Ternyata tidak banyak yang berubah darinya, pikirku. Ia mengambil beberapa batu pipih kemudian melemparkannya ke danau. Batu itu meloncat-loncat sebelum ia terbenam. Sekarang aku benar-benar mengerti maksud dari perkataannya saat kami berumur sepuluh tahun dulu.
"Sekarang kau sudah mengerti dengan filosofi yang mengatakan bahwa persahabatan sama dengan batu bersisi dua, bukan?
"Tentu saja," jawabku.
"Oh iya, selamat atas kelulusanmu. Rencananya kau mau melanjutkan kuliah di mana?"
"Kalau aku sih terserah. Tapi orang tuaku menginginkanku masuk fakultas kedokteran di Universitas Indonesia. Kau?"
Rino tersenyum pahit, kemudian menjawab pertanyaanku, "Kurasa aku sedikit kurang beruntung darimu. Tahun lalu ayahku meninggal karena sakit dan itu membuatku harus hidup sendirian. Aku harus membiayai sekolahku sendiri dengan bekerja di ladang. Dan akhirnya, aku bisa menyelesaikan sekolahku sampai akhir meskipun aku tidak bisa melanjutkan kuliah."
"Sepertinya aku bisa membantumu. Orang tuaku tidak akan keberatan untuk sekedar membantu membiayai kuliahmu."
"Terima kasih, tapi..."
"Bukankah kita ini teman? Teman harus saling membantu, bukan?" tanggapku cepat. "Mungkin ini satu-satunya hal yang bisa kulakukan untuk membalas kebaikanmu selama ini,"
Ia tersenyum, "Terima kasih banyak."
Matahari saat ini benar-benar sudah berada di atas kepala. Panasnya mulai terasa melelehkan pagi yang dingin. Jalanan beraspal mulai diisi oleh beberapa orang pejalan kaki. Saat itulah awan pagi menghilang dan langit biru sepenuhnya menantang permukaan danau. Namun di balik tantangan itu, sebuah persahabatan kini terjalin kembali. ***
I have a nice day to day. :)

Jumat, 13 April 2012

BAHASA TERPURUK BANGSA


            Pada hakikatnya, manusia hidup sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Manusia dikatakan sebagai makhluk individu karena mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dalam mempertahankan hidupnya. Di samping itu, manusia membutuhkan manusia lain dalam kehidupannya. Dengan kata lain, manusia saling membutuhkan satu sama lain. Seseorang tidak akan mampu bertahan hidup jikalau tidak ada orang lain yang berpengaruh di dalam hidupnya. Hal inilah yang menyebabkan manusia dikatakan sebagai makhluk sosial.
            Dalam menjalankan kehidupan sebagai makhluk sosial, manusia harus berinteraksi satu sama lain. Untuk dapat berinteraksi, manusia harus mampu berkomunikasi. Dan untuk berkomunikasi, manusia memerlukan sesuatu yang disebut bahasa. Bahasa inilah yang digunakan manusia untuk berkomunikasi sehingga terjalin sebuah interaksi.
            Bahasa yang digunakan manusia bermacam-macam, ada bahasa lisan, bahasa tulisan, dan bahasa isyarat. Bahasa lisan adalah bentuk komunikasi langsung antar-manusia, baik melalui alat perantara maupun tidak. Bahasa tulisan adalah bentuk komunikasi melalui tulisan,  misalnya surat dan sebagainya. Adapun bahasa isyarat adalah bentuk komunikasi yang menggunakan isyarat tertentu, misalnya isyarat tangan dan bahasa tubuh yang lainnya. Bahasa-bahasa tersebut merupakan jenis-jenis dasar dari bahasa.
            Dalam konteks yang sesungguhnya, bahasa dibagi berdasarkan tempat bahasa tersebut digunakan, baik di daerah, wilayah, maupun di suatu negara. Setiap daerah dan wilayah mempunyai bahasa tersendiri. Bahasa tersebut digunakan oleh warga yang berdomisili di daerah tersebut. Untuk berkomunikasi dengan warga daerah lain, masyarakat menggunakan bahasa persatuan negaranya yang disebut bahasa Nasional. Misalnya Negara Jepang menggunakan bahasa Jepang sebagai bahasa Nasional-nya, Negara Perancis menggunakan bahasa Perancis sebagai bahasa Nasional-nya, Negara China menggunakan bahasa Mandarin sebagai bahasa Nasional-nya, begitu pula dengan negara-negara lain yang tentunya memiliki bahasa Nasional-nya sendiri. Negara kita, Indonesia, memiliki bahasa Nasional yaitu bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia inilah yang digunakan oleh seseorang untuk berbicara dengan orang dari suku lain di Indonesia.
            Bahasa Nasional memiliki makna yang sangat besar dan penting bagi suatu bangsa, begitu juga dengan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia membentuk dan menggambarkan jati diri bangsa Indonesia. Dengan adanya bahasa Indonesia, rakyat Indonesia bisa saling berkomunikasi sehingga rasa persaudaraan dapat tumbuh dan terjalin. Selain itu, bahasa Indonesia juga berperan penting bagi kemerdekaan Indonesia karena bahasa inilah yang mempersatukan rakyat sehingga rakyat bisa saling bahu-membahu melawan bangsa penjajah.
            Perjuangan agar bisa menggunakan bahasa Indonesia tidaklah semudah menggunakannya saat ini. Pengorbanan besar harus dilewati terlebih dahulu oleh para pejuang kemerdekaan Indonesia. Jiwa dan harta mereka korbankan demi mengusir para penjajah yang mencekal bahasa Indonesia. Akan tetapi, apakah kita sadar atas perjuangan mereka?
            Banyak yang tidak menghargai jasa para pahlawan yang telah memperjuangkan bahasa Indonesia dengan menganggap remeh bahasa Indonesia. Banyak yang menanamkan di dalam hatinya perasaan “malas” dan bahkan mengeluh bila harus berbahasa Indonesia yang berpedoman pada kaidah berbahasa yang baik dan benar.
            Yang penting apa yang kita sampaikan dimengerti sama orang lain, mau pake bahasa gaul kek, campur bahasa asing kek, toh orang lain juga paham. Please dong jangan diperbesar masalah kecil kayak gini!”
            Benar dan pantaskah bila kita sebagai pemilik bahasa Indonesia berasumsi demikian?
            Dalam kehidupan sehari-hari, bahasa daerah masih sangat lazim digunakan oleh masyarakat. Bahkan, lebih dari setengah masyarakat Indonesia tidak lancar berbahasa Indonesia akibat kentalnya logat daerah. Hal itu terjadi karena dalam kehidupan bermasyarakat, bahasa Indonesia dianggap tidak terlalu penting dan jarang sekali digunakan. Padahal salah satu isi sumpah pemuda adalah “Menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Sayangnya, makna tersebut masih belum melekat dan dihayati oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
            Di kalangan lain, sebagian masyarakat justru malah lebih senang berbahasa asing daripada berbahasa Indonesia sendiri. Kebanyakan mereka adalah kalangan masyarakat terpelajar dan berpendidikan. Hal demikian muncul akibat pemikiran seperti “Kenapa mesti belajar bahasa Indonesia? Aku kan orang Indonesia, jadi udah pasti bisa dong!” atau “Bahasa Indonesia kan gampang! Gak dipelajari juga gak masalah. Mending belajar bahasa asing yang lebih keren.
            Pemikiran-pemikiran seperti itu adalah contoh pemikiran-pemikiran yang keliru. Kita sebagai bangsa Indonesia harus mengedepankan bahasa Indonesia daripada bahasa asing, meskipun  bahasa tersebut kita butuhkan untuk berkomunikasi dengan warganegara asing. Kita perlu mencontoh Jepang dan Perancis, negara-negara yang sangat menjunjung tinggi bahasanya.
            Maka dari itu, untuk mempertahankan bahasa Indonesia, kita harus menanamkan jiwa nasionalisme dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu, pendidikan bahasa masih sangat diperlukan untuk memperbaiki tata bahasa masyarakat Indonesia. Sebenarnya menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar tidaklah sulit apabila kita menanamkan niat dan menjauhkan semua perasaan “malas” untuk menggunakan bahasa Indonesia. Siapa lagi yang akan memajukan bahasa Indonesia kalau bukan kita? Mulai sekarang, marilah kita tanamkan  keinginan untuk memajukan bahasa Indonesia di dalam jiwa dan raga kita.***

Kamis, 25 Agustus 2011

Shizune and The Senbon Ninja

Ini sebenarnya bukan fanfic saya, tapi tak apa saya post karena menurut saya fic nya bagus *nyembah sama yang punya*. Happy reading....

 A Naruto Fanfiction

Rated: T - English - Romance/Humor - Genma S. & Shizune
 Disclaimer: Masashi K.
 Shizune and The Senbon Ninja
Story by: IssyIt

Shizune menghela napas. Hokage Kelima, memerintahkan dia untuk meninggalkan kantor dan memanggil Raidou Namiashi padanya. Ini sama sekali bukan hari baik bagi Shizune, ia merasa sangat lelah dan lesu, dan paling tidak ia ingin berbaring dan tertidur di tempat tidurnya.

Dia, tentu saja, tidak punya kesempatan untuk melakukannya sama sekali. Tsunade, telah menyuruhnya dengan sangat keras sepanjang hari, mengirimnya ke dalam dan keluar kantor dengan tugas yang tak ada habisnya, tidak memberikannya kesempatan bahkan untuk bernapas normal. Dan sekarang, ia harus turun ke halaman bawah hanya untuk memanggil Raidou, teman sesama Jōninnya ...

"Ini akan menjadi hari yang sangat panjang," gerutunya. "Aku bahkan tidak tahu siapa Raidou. Orang-orang bilang dia baru saja dipromosikan sebagai Jonin yang... Bagaimana aku bisa menemukan dia seperti ini?"

Dia turun ke halaman bawah, dan melewati halaman latihan, mencoba melihat sekitarnya untuk menemukan seseorang, siapa pun. Tempat itu sangat tenang, tidak ada seorang pun berada di sekitar sana.

Tidak, tunggu, tampaknya sekarang ada seseorang di belakangnya. Berharap orang itu setidaknya tahu siapa Raidou, Shizune berbalik.

"Awas!"

"Ap ..."

Tak ada yang tahu bagaimana hal itu terjadi. Sebelum Shizune bisa membalikkan kepalanya, sesuatu yang panjang dan tipis terbang keluar ke sisi kirinya, dan, sebelum ia bisa bereaksi, benda itu menembus lengan kiri di sikunya.

"Aduh!" Meringis dengan rasa sakit dan gangguan, Shizune buru-buru menariknya keluar, meringis saat melihat warna darah di lengannya.

"Maafkan saya, saya sangat menyesal!" seseorang berkata, bergegas dengan sigap ke arahnya. "saya berteriak kepada Anda, tapi Anda hanya ..."

"Jujur saja, apa itu?" bentak Shizune marah, meletakkan tangan kanannya ke lengan kirinya untuk menyembuhkannya dengan keterampilan ninjutsu medisnya.

"Saya minta maaf," orang itu berkata. "Itu kecelakaan, tepatnya saya sedang berlatih menggunakan senbon, dan kemudian Anda datang, dan -.. Dan saya tidak bisa menghentikannya"

Sambil mengerutkan kening keras, Shizune mendongak untuk pertama kalinya pada orang itu.

Dia cukup menarik, siapa Ninja ini, setidaknya, cukup tampan untuk membuat wanita melihat dua atau tiga kali ke arahnya. Dia masih muda, tempatnya di usia dua puluhan seperti Shizune. Matanya cokelat, rambut sebahu, dan ikat kepala Konoha-nya dipakai kebelakang di atas topi kain biru gelap.

Siapa dia? Aku belum pernah melihatnya di sekitar sini sebelumnya. Apakah dia ninja Konoha?

"Maafkan saya, Nona," katanya lagi. "Apakah saya melukai Anda sangat parah ... Apakah Anda perlu?"

"Aku baik-baik saja," bentak Shizune, mencoba untuk bersikap sabar. "Aku seorang ninja medis, aku bisa menyembuhkan lukaku sendiri dengan cepat tanpa membunuh diriku lebih dulu, terima kasih!"

"Saya minta maaf."

"Baik," jawab Shizune. "Apa kau tahu Raidou Namiashi? aku seharusnya memanggilnya menemui Tsunade-sama, tapi aku tidak tahu bahkan siapa dia."

"Raidou? Ah, sesama Jonin, ya mudah mengenalinya.. Hanya melihat keluar untuk mencari seseorang dengan rambut cokelat dan mata seperti saya, daengan bekas luka panjang di wajahnya. Perlu saya bantu mencarinya?."

"Tidak, aku punya mata yang sempurna, terima kasih dan ini... Apa pun itu."

"Senbon,"   pria itu menepatkan dengan sopan, ia mengambil benda itu dari tangan Shizune. "Sekali lagi, saya minta maaf ..."

"Minta maafnya cukup untuk hari ini," keluh Shizune. "Dan terima kasih atas bantuan kecilnya." Tanpa melihat kembali pria itu, Shizune berbalik dan melangkah pergi dengan cepat.

Aku berharap aku tidak pernah melihat pria ini lagi, siapa pun dia!

TBC

Owari.... Chap. 1 selesai.... Gomen kalau translate nya buruk. Untuk chap. 2 nya tunggu ya....

Minggu, 03 Juli 2011

Coret-coret Aja

Apa yah? Mmm......
Bosan... Ga ada yang mau saya tulis. Sebenarnya saya mau update cerpen, tapi sayangnya laptop saya rusak, sedangkan datanya semua di laptop. Hhu... :(
OK, jadi sekarang saya mau cerita-cerita aja dikit tentang saya.
Saya adalah anak pertama sekaligus anak laki-laki tunggal di keluarga saya. Saya punya ayah dan ibu yang mencintai saya. Meski hidup sederhana, tapi saya bahagia juga.
Saya sekolah di salah satu sekolah terbaik di provinsi saya, namanya MAN Cendikia Jambi. Meski berstatus Madrasah, tapi sekolah saya gak kalah saing sama sekolah umum lainya. Terbukti dengan sekolah saya mengirimkan utusannya mengikuti olimpiade ke tingkat Provinsi sebanyak 37 orang siswa/i. Itu jumlah terbanyak se-Provinsi Jambi lho!
Lanjut!
Mumpung masih liburan semester, saya habiskan waktu di rumah buat OL sama tidur aja! Habis di Cendikia gak ada waktu untuk itu. Kami di-boarding. Sedihnya... :(
Selain itu, tidak lupa juga saya membaca buku Biologi karya Neil A. Chmpbell tiap hari. Itu buku favorit saya lho!
Erm... Terus apa lagi yah.... Sesuai judulnya cuma coret-coret aja, jadi emang dari awal gak ada artinya. Sudah dulu ya... Itu perkenalan singkat dari saya. Mudah-mudahan kita bisa berjumpa lagi di lain kesempatan dan dengan keadaan lebih baik tentunya. Dan untuk post selanjutnya saya akan update artikel dan cerita-cerita menarik lainnya. Mata ne....

Selasa, 15 Februari 2011

Selamat Datang!

Hello...


How do you do?

Selamat datang di blog baru saya. Blog ini berisi info populer, info baru, artikel-artikel saya, mengenai saya, dan masih banyak lagi.

Sungguh, ini baru pertama kalinya saya serius membuat blog. Mohon bantuannya semua....