DUA SISI BATU
Udara sejuk
mulai terasa saat mobilku menapaki tanah Kerinci. Setelah menghabiskan
waktu kira-kira semalaman di atas mobil, baru pagi ini kami sekeluarga
sampai di tanah kelahiranku ini. Tapi perjalanan masih belum berakhir.
Kami masih membutuhkan waktu kira-kira dua jam lebih untuk benar-benar
sampai di tempat tujuan. Karena itulah aku memutuskan untuk menghabiskan
waktuku dengan melihat-lihat pemandangan dari balik kaca mobil sambil
mendengarkan lagu-lagu di i-pod kecilku.
Ternyata
keputusanku itu benar-benar tepat. Pemandangan hijau alam Kerinci
benar-benar menghipnotis sehingga membuatku tak sadar bahwa kami telah
sampai di tempat tujuan. Ayah telah berhenti menyetir mobil sambil
bersiap-siap turun. Ibuku ternyata juga sudah turun terlebih dahulu.
Dari bangku belakang aku mendengar ayah memanggilku. Rupanya ia mengira
kalau aku masih tertidur. Aku segera bangkit lalu turun dari mobil
sambil meregangkan anggota badanku. Rasa penat yang menjalar akibat
perjalanan jauh seketika menghilang setelah aku menarik napas
dalam-dalam dan menikmati kesejukan udara sampai paru-paruku terasa
membeku. Ternyata udara di sini tidak berubah, pikirku.
Sudah tiga
tahun semenjak aku meninggalkan tanah kelahiranku ini, ternyata
suasananya tidak jauh berbeda. Rumah-rumah yang terbuat dari kayu masih
terlihat di sana-sini. Aku memandang nenekku yang tengah menyambut Ayah
dan Ibu di depan teras rumah. Aku menghampirinya lalu menyalaminya. Ia
terlihat senang menyambut kedatangan kami. Wajah paruh bayanya tampak
tersenyum lebar.
"Dino, bawa barang-barang masuk ke dalam!" suruh ayahku sambil melirik koper di dekat mobil kelabu kami.
Aku menyeret sebuah koper dan sebuah tas punggung masuk ke dalam rumah, sedangkan barang-barang lainnya dibawa oleh ayahku.
Di
dalam rumah, aku tidak langsung duduk atau istirahat terlebih dahulu,
melainkan langsung berjalan ke luar dengan penampilan apa adanya, lebih
tepatnya berantakan. Dengan kaos hitam dan jeans biru yang agak
kusut, aku berjalan menyusuri jalanan di depan rumah nenekku tanpa
mengindahkan suruhan ibuku untuk sarapan terlebih dahulu.
Tidak
jauh aku berjalan, akhirnya aku tiba di sebuah tempat yang masih jelas
kuingat. Di sinilah aku, di tepi danau Kerinci yang menyimpan berjuta
kenangan masa laluku bersama seseorang yang dulu mengubah hidupku. Angin
dingin berhembus pelan menghantarkan gelombang air ke tepi, menerpa
bebatuan ke pinggir di tempatku berdiri. Pada akhirnya, angin itu
membawaku kembali mengenang masa laluku.
Kala itu aku masih
berumur kira-kira sepuluh tahun. Aku memang sering menghambiskan waktuku
untuk duduk di tepi danau. Meskipun sendirian dan yang kulakukan hanya
berdiam diri, namun kurasa hal itu jauh lebih baik daripada sendirian di
rumah yang bagaikan tanpa penghuni itu. Paling tidak di sini aku bisa
merasakan hembusan angin dan melihat indahnya pemandangan alam yang
terbentang di depanku, mulai dari tingginya Gunung Raya dan air
terjunnya sampai dengan cahaya matahari yang berubah warna dari waktu ke
waktu.
Aku sering menghabiskan waktu dari hari ke hari di tempat
ini sepulang sekolah dan kembali ke rumah setelah awan merah di ufuk
barat mulai terlihat. Ayah dan ibuku tidak pernah mengetahui kebiasaanku
itu karena mereka terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri. Hanya
nenekku saja yang sering mencari keberadaanku ketika aku tidak langsung
pulang ke rumah usai sekolah. Aku merasa kesal dengan kehidupanku,
kurang mendapatkan perhatian dari kedua orang tuaku dan kurang bisa
berinteraksi dengan orang lain, sehingga aku tidak memiliki teman
seorang pun. Sampai pada akhirnya dia pun datang, mengubah kehidupanku
yang suram itu.
Kejadian itu terjadi di hari ketika aku berdiri di
depan danau dan berkaca di dalam airnya yang bening. Hari itu mungkin
memang hari terburuk yang kudapatkan di sekolah. Pagi harinya aku
dihukum oleh guruku karena terlambat datang ke sekolah, kemudian aku
berkelahi dengan salah seorang teman sekelasku karena ia mengejekku. Aku
menangis di tepi danau itu, meluapkan semua perasaan yang kupendam
sejak pagi. Tiba-tiba aku tergelincir masuk ke dalam danau saat aku
mendekat untuk mencuci muka. Meski airnya dangkal dan hanya mencapai
sebatas lututku, namun aku tetap panik karena sepatu dan seragamku
basah. Lalu seorang anak laki-laki datang. Ia mendekatiku segera dan
mengulurkan tangannya untuk menarikku naik kembali ke atas tebing. Anak
laki-laki itu berkulit agak gelap. Rambut hitamnya yang agak panjang
menutupi sebagian daun telinganya. Pakaian yang ia kenakan juga agak
kotor dan lusuh. Ia tampak seperti baru saja bekerja di ladang.
"Kau tidak apa-apa?" tanyanya setelah menarikku keluar dari danau.
Aku hanya terdiam waktu itu. Aku masih menatapi wajah anak itu lekat-lekat.
"Perkenalkan, namaku Rino. Kau?"
Aku
agak terkejut mendengar nama anak itu yang agak mirip dengan namaku.
Aku masih terdiam dan melupakan pertanyaan anak itu, sampai akhirnya
anak itu bertanya lagi.
"Namamu siapa?"
Aku baru menjawab setelah anak itu mengulangi pertanyaannya itu. "Aku Dino," jawabku singkat.
Anak itu tersenyum lebar, menampakkan gigi-gigi putihnya. "Wah... ternyata kita memiliki nama yang mirip. Rumahmu di mana?"
"Dekat sini,"
Anak
itu mengangguk. "Aku baru saja pindah ke sini kemaren. Ayahku bertani
di sana," katanya sambil menunjuk ke arah bukit di belakang kami. "Lalu,
apa yang kau lakukan di sini?"
Aku menggeleng yang mungkin menyisakan tanda tanya di benaknya. "Kau sendiri?" kataku balik bertanya.
"Aku
baru saja ingin pulang setelah membantu ayahku bekerja di ladang,
kemudian aku melihatmu jatuh ke dalam danau, makanya aku menghampirimu,"
Aku hanya terdiam mendengar penjelasannya, membuat anak itu kembali tersenyum.
"Sebaiknya
kau pulang saja sekarang dan mengganti pakaianmu. Aku juga mau pulang
karena hari kelihatannya sudah sore. Sampai ketemu besok ya..." kata
anak itu yang kemudian mengangkat tangannya dan berbalik pergi
meninggalkanku yang masih mematung sendiri.
Aku mengamati langkah
anak itu. Ia berjalan menuju jalan beraspal sendirian. Aku pun melangkah
pergi setelahnya dengan beribu pertanyaan masih tersimpan di benakku.
Keesokannya
masih di tempat yang sama, anak itu ternyata telah berdiri di pinggir
danau tempatku terbiasa menghabiskan waktuku. Ia berdiri menghadap
hamparan yang terlihat biru dari jauh. Ia berbalik ketika merasakan
kehadiranku di belakangnya.
"Sudah pulang dari sekolah?" sapanya. Aku membalasnya dengan tersenyum dan tampaknya ia mengerti.
"Kau tidak sekolah?" tanyaku.
Rino
membalasku dengan seringainya yang tampak aneh sebelum menjawab.
"Sekolahku sudah usai sejak tadi pagi," jawabnya. "Eh... ayo ke sana!"
Tiba-tiba
ia menarik lenganku menuju ke sebuah tempat di mana aku bisa melihat
danau lebih dekat lagi. Aku berdiri di atas sebuah batu di mana aku
dikelilingi oleh air danau yang dangkal. Aku bersyukur karena tadi aku
sempat pulang dan mengganti seragamku dengan pakaian harian. Dengan
begitu aku tidak perlu khawatir kalau-kalau pakaianku basah.
"Bagaimana? Dari sini lebih terasa di danau kan?" sahutnya yang sedikit mengejutkanku.
Aku
tersenyum. Baru kali ini aku merasa benar-benar memiliki teman. Dialah
orang pertama yang menganggapku ada, yang membawaku keluar dari
kesepianku selama ini.
"Dino, lihatlah!"
Rino melemparkan
sebuah batu yang entah sejak kapan dipegangnya. Batu itu kemudian
meloncat-loncat di atas permukaan air sebelum akhirnya tenggelam.
"Bagaimana caranya?" tanyaku heran.
Rino mencari beberapa batu pipih di bagian dangkal danau, kemudian memperlihatkannya kepadaku.
"Kau
harus mencari batu yang memiliki dua sisi seperti ini," katanya sembari
melemparkan batu pipih yang baru digenggamnya. Batu itu kembali
meloncat-loncat. "Ayo coba!"
Rino memberikan sebuah batu pipih
kepadaku. Aku mengambilnya, kemudian melemparkannya ke dalam air. Akan
tetapi, batu itu langsung tenggelam tanpa meloncat-loncat terlebih
dahulu. Aku merasa kecewa.
"Posisi batunya harus datar dulu sebelum dilemparkan. Perhatikan!"
Ia
memperlihatkan kepadaku cara melemparkannya, kemudian menyuruhku untuk
mencoba lagi. Berkali-kali aku mencoba namun selalu gagal. Tapi
akhirnya, aku pun berhasil melakukannya.
"Tuh kan! Kau bisa melakukannya!"
Aku tersenyum senang.
"Nanti kalau kau membutuhkanku, kau lempar saja batu seperti itu ke danau. Aku pasti akan datang," ujarnya.
"Aku tidak yakin kau akan datang."
"Kenapa tidak? Batu yang memiliki dua sisi itu kan bisa diibaratkan sebagai lambang persahabatan."
"Kok bisa?"
"Seorang
sahabat tidak akan pernah membiarkan sahabatnya terjatuh ke dalam
sebuah masalah. Ia akan terus berusaha mengangkat sahabatnya keluar dari
masalah itu meski pada akhirnya ia sendiri akan ikut tenggelam bersama
sahabatnya. Sama seperti kedua sisi batu itu. Meskipun pada akhirnya
akan tenggelam ke dalam danau, sisi batu yang di bawah akan selalu
melindungi sisi batu yang di atas sampai akhirnya ia tidak bisa lagi
melindunginya sehingga keduanya tenggelam bersamaan," jelas Rino panjang
lebar.
Aku hanya tersenyum mendengar penjelasannya, meskipun sebenarnya aku masih kurang mengerti.
Benar
saja, hari-hari berikutnya setiap kali aku melempar batu ke dalam
danau, Rino datang tidak lama setelah itu, meskipun tidak selalu. Aku
sempat bertanya mengapa hal itu bisa terjadi. Katanya ia mendapatkan insting kalau aku memanggilnya. Kami pun kembali menghabiskan sisa-sisa hari di danau setiap hari.
Entah
kenapa aku dan Rino bisa begitu akrab. Baru kali itu aku merasa punya
teman akrab yang baik seperti dia. Saat ia tidak datang ke danau karena
suatu alasan, aku merasa begitu kesepian. Begitu juga sebaliknya. Kami
selalu berbagi cerita dan pengalaman setiap hari di tempat itu, di danau
Kerinci. Sampai memasuki sekolah menengah pun, entah sengaja atau tidak
kami memasuki sekolah yang sama. Dan selama itu juga, kami tetap sering
datang ke tempat pertama kami bertemu meskipun tidak sesering ketika
kami di sekolah dasar dulu.
Di sekolah, ternyata Rino adalah salah
satu siswa yang pintar. Nilai-nilainya selalu saja berada di atas
nilai-nilaiku. Meski begitu, Rino tidak pernah sombong dan selalu
membantuku ketika aku agak kesulitan dalam pelajaran. Hingga tak terasa
saat-saat sekolah menengah pertamaku sudah hampir tiga tahun berlalu.
Aku dan Rino sudah memikirkan akan masuk sekolah menengah atas yang
sama.
Di saat hari-hari menjelang ujian nasional, aku berniat
menyampaikan perasaanku kepada Erza, teman sekelasku yang diam-diam aku
sukai. Aku membuat janji untuk bertemu dengannya usai sekolah. Aku
menunggu di belakang gedung sekolah, tempat yang kami janjikan untuk
bertemu. Akan tetapi, hampir tiga puluh menit aku menunggu namun belum
ada juga tanda-tanda kehadiran Erza. Dalam keadaan resah, aku berpikir
kalau-kalau Erza lupa atau berhalangan datang. Aku segera berjalan
menuju kelas untuk memastikan apakah ia masih di sekolah atau sudah
terlebih dahulu pulang. Namun, apa yang kudapatkan di kelas benar-benar
di luar dugaanku. Aku melihat Erza tengah direngkuh oleh Rino, sahabat
baikku. Rino segera melepaskan rengkuhannya setelah menyadari
kehadiranku.
"Dino?"
Tanpa sadar aku mengepalkan tanganku
dan melayangkan pukulan tepat di pipi kanan Rino, meninggalkan bekas
kebiruan di sekitar sana. Erza yang melihatnya hanya terbelalak kaget,
begitu juga dengan Rino yang mengalaminya sendiri.
"Kupikir kau adalah sahabatku!" bentakku, kemudian aku berlari meninggalkan mereka tanpa menghiraukan panggilan Rino.
Hari-hari
berikutnya, hubunganku dengan Rino sudah tidak seperti dulu lagi. Aku
sangat membenci pemuda itu yang kukira telah merebut apa yang seharusnya
menjadi milikku. Meskipun sebenarnya aku belum memiliki hubungan
apa-apa dengan Erza dan Rino sebenarnya memiliki hak untuk
mendapatkannya terlebih dahulu, tetapi ia sudah lama tahu kalau aku
menyukai Erza. Itulah yang menjadi alasanku mengapa aku bersikap seperti
itu kepadanya.
Aku terus mendiamkannya dari hari ke hari meskipun
ia setiap hari menyapaku. Hingga pada suatu hari, ayahku
dipindahtugaskan ke Kota Jambi dan itu membuat kami harus pindah rumah.
Setelah ujian nasional, aku pun bersama keluargaku meninggalkan Kerinci
menuju Kota Jambi, tempatku menerima takdirku selanjutnya. Kurasa hal
itu jauh lebih baik untuk melupakan masalahku meskipun aku belum tahu
apa yang akan terjadi selanjutnya.
Rasanya aneh mengingat hal-hal
itu semua. Kini aku tengah berdiri di tepi danau kembali dan kejadian
itu sudah tiga tahun berlalu. Aku memejamkan mataku saat kenangan itu
kembali lagi menghampiriku, kenangan bersama orang yang sangat
berpengaruh dalam hidupku. Rino, ia benar-benar mempengaruhi kehidupanku
hingga saat ini. Ia benar-benar mengubahku menjadi kuat dan mampu
menatap dunia masa depan. Tapi sayangnya semua harus berakhir dengan
penuh kekecewaan. Ia mengkhianati persahabatan kami di saat kami mulai
beranjak dewasa. Ia membuatku harus melangkah sendirian dan
meninggalkannya. Tapi paling tidak itu keinginannya, pikirku.
Angin
dingin terus berhembus dari danau ke tebing. Matahari pun kini telah
naik hampir tepat di atas kepala. Tak terasa ternyata aku telah
menghabiskan waktuku beberapa jam hanya untuk menatap kosong ke hamparan
danau yang luas.
"Dino!"
Aku terkejut ketika mendengar
seseorang memanggilku dengan suara yang sepertinya cukup kukenal. Aku
membalikkan tubuhku dan mendapati seorang pemuda berwajah agak gelap
dengan rambut yang agak panjang_namun belum dikatakan gondrong_berdiri
di hadapanku. Aku menatap kedua pupil hitamnya lekat-lekat dan setelah
itu aku benar-benar yakin bahwa ia adalah Rino. Wajah itu, senyum itu,
rasanya benar-benar membawaku kembali ke masa lalu. Ingin sekali rasanya
aku merengkuhnya, memeluknya dan melepaskan semua rasa rinduku
kepadanya. Namun kuurungkan niatku saat aku teringat kejadian terakhir
itu, kejadian yang sangat menyakitkan bagiku.
"Kau siapa?" tanyaku pura-pura tak mengenalnya.
Senyum di wajahnya memudar. Sinar matanya menampakkan kesedihan.
"Apakah kau benar-benar membenciku sampai berpura-pura tak mengenalku?"
Ternyata
ia tahu bahwa aku hanya berpura-pura tak mengenalnya. Aku menatapnya
sejenak kemudian melangkah meninggalkannya, namun ia menahanku.
"Kumohon, dengarkan dulu penjelasanku!" pintanya.
"Kurasa
tidak ada yang perlu kau jelaskan. Aku sudah melupakan kejadian itu dan
kini kita sudah berjalan di jalan kita masing-masing."
"Aku yakin kau masih memikirkannya," sanggah Rino cepat.
Ya, memang benar. Aku tidak bisa melupakan kejadian itu, mungkin selamanya.
"Cepat,
katakan! Aku harus segera pulang!" sahutku dengan nada yang tak
bersahabat. Kemudian, aku membalikkan tubuhku kembali membelakanginya.
Rino
menatap hamparan danau yang luas di depannya sebelum mulai berbicara,
"Selama ini kau sudah salah paham. Sebenarnya Erza sudah mengetahui
rencanamu untuk menyatakan perasaanmu kepadanya, karena itulah ia
menemuiku."
"Tunggu dulu, ada urusan apa sampai ia harus menemuimu?" tanyaku yang mungkin terkesan dingin olehnya.
Rino
menarik napas dalam-dalam sebelum kembali melanjutkan pembicaraannya,
"Ia meminta pendapatku bagaimana cara meminta maaf kepadamu karena ia
tidak bisa menerima cintamu."
Tanpa sadar, aku menggertakkan gigiku. Mungkin karena aku berpikir bahwa Erza menolakku karena pemuda di depanku ini.
"Itu
semua bukan karena ia tidak menyukaimu," lanjutnya yang sukses
mengejutkanku. "Sebenarnya ia juga sangat menyukaimu. Tapi... ia tidak
bisa menerima cintamu karena ia tidak ingin mengecewakanmu kalau-kalau
ia harus memutuskan hubungan kalian tiba-tiba. Itu semua karena ia
menderita leukemia."
Aku sangat terkejut mendengar perkataan Rino. "Leukemia?"
Rino
mengangguk, "Ia takut membuatmu terluka karena penyakit itu bisa saja
merenggut nyawanya tiba-tiba. Waktu itu ia bercerita kepadaku dan ia tak
sanggup menahan air matanya. Karena itulah aku merengkuhnya untuk
sedikit menenangkannya."
Tubuhku gemetar tiba-tiba. Aku merasa sangat bersalah karena selama ini tidak mendengar penjelasan Rino.
"Se... sekarang di mana dia? Di mana Erza?"
Rino menunduk. Aku dapat melihat matanya berkaca-kaca.
"Seminggu setelah kepergiaanmu, penyakit itu merenggut nyawanya."
Perkataan
Rino membuatku benar-benar merasa bersalah. Aku tidak bisa berkata
apa-apa lagi. Aku merasa cairan bening mulai mengalir dari kedua sudut
mataku. Tiba-tiba saja Rino merengkuhku, mencoba menenangkanku.
"Aku
tahu ini sangat berat. Maafkan aku karena tidak memberitahumu sejak
dulu," dari suaranya yang terdengar gemetar, aku tahu kalau Rino saat
ini sedang berusaha untuk menahan kesedihannya.
"Maafkan aku..." ucapku pelan, tapi cukup terdengar keras oleh Rino. "Maafkan aku..."
Aku
merasa benar-benar hina. Permintaan maafku tidak akan pernah cukup
untuk menebus semua kesalahanku kepadanya. Rino melepaskanku, kemudian
tersenyum menatapku.
"Tidak ada yang perlu dipermasalahkan lagi
sekarang," katanya. "Bukankah kita ini teman yang akan saling membantu
jika ada salah satu dari kita yang terjatuh?"
Aku mengangguk, "Terima kasih karena kau masih menganggapku teman."
Rino
menyeringai dengan seringaiannya yang khas seperti dulu. Ternyata tidak
banyak yang berubah darinya, pikirku. Ia mengambil beberapa batu pipih
kemudian melemparkannya ke danau. Batu itu meloncat-loncat sebelum ia
terbenam. Sekarang aku benar-benar mengerti maksud dari perkataannya
saat kami berumur sepuluh tahun dulu.
"Sekarang kau sudah mengerti dengan filosofi yang mengatakan bahwa persahabatan sama dengan batu bersisi dua, bukan?
"Tentu saja," jawabku.
"Oh iya, selamat atas kelulusanmu. Rencananya kau mau melanjutkan kuliah di mana?"
"Kalau aku sih terserah. Tapi orang tuaku menginginkanku masuk fakultas kedokteran di Universitas Indonesia. Kau?"
Rino
tersenyum pahit, kemudian menjawab pertanyaanku, "Kurasa aku sedikit
kurang beruntung darimu. Tahun lalu ayahku meninggal karena sakit dan
itu membuatku harus hidup sendirian. Aku harus membiayai sekolahku
sendiri dengan bekerja di ladang. Dan akhirnya, aku bisa menyelesaikan
sekolahku sampai akhir meskipun aku tidak bisa melanjutkan kuliah."
"Sepertinya aku bisa membantumu. Orang tuaku tidak akan keberatan untuk sekedar membantu membiayai kuliahmu."
"Terima kasih, tapi..."
"Bukankah
kita ini teman? Teman harus saling membantu, bukan?" tanggapku cepat.
"Mungkin ini satu-satunya hal yang bisa kulakukan untuk membalas
kebaikanmu selama ini,"
Ia tersenyum, "Terima kasih banyak."
Matahari
saat ini benar-benar sudah berada di atas kepala. Panasnya mulai terasa
melelehkan pagi yang dingin. Jalanan beraspal mulai diisi oleh beberapa
orang pejalan kaki. Saat itulah awan pagi menghilang dan langit biru
sepenuhnya menantang permukaan danau. Namun di balik tantangan itu,
sebuah persahabatan kini terjalin kembali. ***